Pelacur Bukan Wanita Murahan (2)

Masih ingatkah kamu padaku? Aku Bunga, pelacur yang pernah berbagi kisah dimusuhi tetangga. Apa kabarmu, Para Pembaca? Lama juga tidak bersua. Kali ini aku mau bercerita lagi. Cerita tentang salah seorang pelangganku.

Ada seorang pria yang –kalau tidak salah hitung- sudah membayarku delapan kali. Pria itu masih muda, mungkin lebih muda sepuluh tahun dariku. Matanya cokelat muda, rambutnya cokelat tua, bibir tebalnya bewarna merah tua kehitaman. Pelangganku yang satu itu cukup aneh. Meski sudah membayarku delapan kali, ia tak pernah meniduriku.

Di hari pertama, ia membayarku kontan dan memintaku membuatkannya susu hangat dan membalurkan minyak kayu putih di punggungnya.

Di hari kedua, ia juga membayarku kontan dan minta aku memeluknya erat kemudian mengusap-usap kepalanya.

Di hari ketiga, ia datang lagi. Aku sempat menolaknya, tetapi ia tetap memaksa masuk ke kamarku dan menambah bayaranku dua kali lipat. Permintaannya hanya satu; ia ingin aku mencium keningnya.

Di hari keempat, ia kembali datang lengkap dengan satu plastik penuh buah-buahan. Aku menyuruhnya masuk dan memberinya satu buah amplop penuh berisi uang; uang bayaranku darinya. Ia menaikkan satu alisnya saat aku memaksanya menerima uang itu. “Ambillah uangmu. Aku tahu kau pria baik-baik, Nak. Pulanglah!”

ia tetap diam.

“Uang ini bukan hakku. Aku dibayar untuk memuaskan nafsu, Nak. Karena aku tidak menunaikan tugasku, aku tidak berhak atas uangmu. Ambilah uang ini! Jangan datang lagi.”

Ia masih menatapku kemudian berkata “Kau sudah memuaskan nafsuku. Meski bukan berahi, tapi kau benar-benar sudah menjalankan pekerjaanmu.”

Aku menatap amplop itu dengan ragu. Itu jumlah yang cukup banyak, setara dengan bayaranku seminggu. “Baiklah. Sekarang apa yang kamu minta?”

“Kupaskan aku apel dan jeruk.”

Di hari kelima, ia tetap datang dengan setia. Kali ini memintaku memijatnya. Hanya memijat badan dan kakinya saja, bukan yang lain-lain. Setelah dipijat, ia memintaku rebah di atasnya. Rebah dengan pakaian. Kemudian ia memeluk tubuhku erat.

Di hari keenam, ia masih datang padaku. Lengkap dengan bayaran yang semakin bertambah setiap harinya. Permintaannya kali ini cukup aneh. Ia memintaku menggenggam erat tangannya sepanjang malam dan mencium sudut bibirnya. Aku bisa merasakan suhu badannya cukup tinggi.

Di hari ketujuh, ia datang lagi. Ia sudah tidak demam lagi. Ia datang lengkap dengan seorang supir yang menunggu di pintu kamar. Pria itu berkata bahwa ia ingin aku menemaninya makan di luar. Untuk menemaninya makan, ia memberikanku satu kantung berisi satu celana panjang hitam dan satu baju lengan pendek putih. Pria itu membawaku ke sebuah gerai cepat saji. Aku memesan cola serta nasi dengan lauk ayam goreng. Dan ia hanya memesan segelas susu cokelat dingin. Aku ingin bertanya mengapa ia tidak makan. Aku kira, ia mengajakku makan di luar karena ia kelaparan. Susu cokelatnya hanya diminumnya satu kali. Ia hanya sibuk memperhatikan anak-anak kecil yang berkejaran di area bermain gratis. Aku menghabiskan makananku secepat mungkin sambil menelan rasa penasaranku terhadapnya bulat-bulat. Selepas makan, ia mengantarkan aku pulang dan memaksaku menerima amplop –yang berisi uang bayaranku-.

Di hari kedelapan, ia datang lagi. Kali ini ia memintaku memandikannya. Aku menuruti permintaannya. Memandikan laki-laki bukan hal yang asing buatku. Beberapa pelangganku yang lain juga sangat suka bercinta di kamar mandi dan tentu saja juga minta dimandikan setelah bermandi peluh. Ia menarik tubuhnya saat aku ingin menyabuni bawah perutnya. Ia menggeleng kemudian berkata bahwa dirinya minta untuk dimandikan dengan sabun, bukan bermandi maninya sendiri.

Ia tidak datang setelah itu. Awalnya aku merasa sedikit kehilangan. Kehilangan seorang teman yang memperlakukan aku sebagai manusia, bukan sebagai seonggok daging pemuas. Aku ingat, ia tidak pernah memperlakukan aku dengan kasar, bahkan bicara kasar pun ia tidak pernah.

Hingga suatu malam, seorang pria tua –yang aku kenal sebagai supir sang pria aneh- datang menyerahkan sebuah kotak dengan kertas kecil di atasnya. Aku nyaris mati setelah membacanya.

***

Leiden, 3rd April 2014

Dear Bunga,

            Aku anak dari seorang pria beristri yang tergila-gila padamu. Seorang pria yang membuat istrinya gila hingga anaknya tidak pernah merasakan kasih sayang ibunya. Terima kasih karena sudah menghancurkan ibuku dan membuat aku kehilangan rasanya dicintai oleh kedua orang tuaku. Aku tidak marah. Kau sudah cukup baik menjadi ibu pengganti selama delapan hari ini.

B.

Bagian satu: https://krisnasanarta.com/2015/07/31/pelacur-bukan-wanita-murahan/

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s