Pria dengan Susu

“Aku pria yang dipaksa ibu memakai kutang dan gincu; Aku pria dengan puting yang mampu mengucurkan susu.”

Aku tak suka jika harus berada di rumah untuk jangka waktu yang lama. Ibu pasti akan menyeretku membeli kutang dengan busa-busa tebal atau ke salon. Dan setelahnya, ayah akan memberikan segala petuah tentang dosa yang mungkin kutanggung sejak lama. Apa salahnya jika aku memberikan pilihan pada tubuhku sendiri? Perihal mengenakan sesuatu di atas tubuhku adalah mutlak otoritasku sendiri. Ibu dan ayah memang kampungan. Padahal mereka tahu bila aku tak suka mani. Aku bahkan tak sudi jika rahimku ditanam benih hanya demi bayi.

Kata orang, cinta mampu memenangkan segalanya. Omong kosong! Cinta tak pernah menang jika disandingkan dalil agama. Tidak peduli apakah orang yang dimabuk cinta itu termasuk penganut agama itu atau bukan. Aku sudah berulang kali membela diri di depan ibu atau pun ayah. Lagipula mereka tahu jika aku tak beragama sejak SMA. Lalu, untuk apa aku diperingkatkan masalah dosa? Tuhan mana yang akan mengeksekusiku nanti jika aku enggan percaya? Jangan bilang aku pasti masuk neraka. Pendapatmu pasti beda dengan milikku, kau tak punya kuasa untuk menyamakannya, dan kau pun tak mampu membuktikan apa-apa, bukan?

Dewi adalah satu-satunya wanita yang aku cintai. Ia berkali-kali menolakku, namun usahaku mendekatinya lebih gigih. Aku katakan padanya bahwa aku adalah pria yang dipaksa ibunya memakai kutang dan gincu; Aku pria dengan puting yang mampu mengucurkan susu dan ia tak perlu takut memilih cinta, ia juga tak perlu takut dikucilkan, toh aku akan selalu ada untuknya.

Di sebuah pertemuan yang singkat pada suatu malam, ia memutuskan untuk percaya padaku. Ia memberikan sebagian hatinya untukku. Sebagian hatinya yang lain diberikannya pada seorang pria yang aku kenal dengan baik sejak lama. Dewi sering sekali main ke rumah, ayah dan ibu terbuka menyambutnya, bahkan lebih menyayangi dia ketimbang aku.

Kami berhubungan diam-diam. Tak ada satu orang pun yang tahu. Kami bahagia, pada hening kami bercinta, merajut impian satu demi satu dengan peluh, dan membangun istana untuk kami berdua dengan sejuta rapal yang disemogakan. Hanya kami. Hanya Santi dan Dewi.

Di awal Januari, aku melihat Dewi dirias di sampingku. Ia mengenakan baju putih bersih dan siap mengikat janji suci. Di matanya tersimpan air mata bahagia pun sedih. Dan aku menatapnya lekat-lekat dengan lama. Ya, ia akan menikah, tapi bukan denganku. Ia akan menikah dengan laki-laki yang aku kenal baik sejak lama sekali, Danu, kembaranku. Dewi takut akan neraka dan lebih memilih bahagia bersama seorang pria dengan mani, bukan pria dengan puting yang mampu mengucurkan susu.

One thought on “Pria dengan Susu

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s