Halo, Teman! Aku Bunga, pelacur yang menolak dirinya dipanggil “wanita murahan”. Sudah lama tak bercerita di sini. Apa kabarmu? Semoga kamu baik-baik saja dan selalu bahagia. Akhir-akhir ini sedang marak berita tentang Yuyun, seorang gadis belia yang diperkosa kemudian dibunuh oleh empat belas orang binatang. Akhir-akhir ini juga marak dengan tanggapan akan pemerkosa. Hal yang tidak bisa aku terima di kepalaku adalah: komentar bahwa pemerkosaan terjadi karena salah korbannya.
Teman, kalau kamu bilang pemerkosaan terjadi karena korbannya mengenakan pakaian yang “mengundang”, lalu apa menurutmu gadis dengan seragam sekolah bisa dikategorikan demikian? Tidak, bukan? Yuyun tidak mengenakan pakaian minim atau rok dengan belahan tinggi yang bisa membuat kemaluan laki-laki berdiri. Ia hanya mengenakan seragam yang ditetapkan sekolahnya. Ia hanya pelajar biasa.
Teman, kalau kamu setuju dengan tanggapan pemerkosaan Yuyun bisa terjadi karena ia jalan sendirian dan itu adalah kesalahannya, kamu perlu tahu kalau anak-anak yang diperkosa dengan kejam bukan hanya Yuyun. Ada Maysi, gadis belia yang diperkosa oleh ayah kandungnya kemudian dibunuh. Ada Bunga (bukan aku), anak yang gemar mengaji dan diperkosa oleh guru ngaji-nya sendiri di Surabaya. Ada juga anak yang diperkosa oleh guru di sekolahnya. Apa tanggapan kamu terhadap ketiga korban lainnya? Salah karena terlahir sebagai anak dari manusia berkelakuan leih rendah dari binatang? Salah karena ingin belajar lebih banyak tentang agamanya? Dan salah karena bersekolah? Apa kamu yakin sebuah hal yang tidak dapat diduga merupakan kesalahan? Manusia tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa, bukan? Manusia juga tidak bisa mengetahui isi kepala orang lain.
Teman, aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu sampai-sampai kau tega menyalahkan korban. Ya, aku tahu jika ada ungkapan kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Akan tetapi, itu tidak menegaskan bahwa kesempatan itu diberikan oleh korban, bukan? Kesempatan itu dibuat dan diatur sedemikian rupa oleh para pelaku bajingan itu. Yuyun memang jalan sendirian, tapi apa itu bisa disebut sebagai memberi “kesempatan”? Tidak. Ia tidak pernah tahu jika dirinya diintai oleh bahaya di jalan yang biasa dilaluinya. Aku juga berani bertaruh jika tidak ada satu manusia pun yang mau mati di tengah derita, termasuk Yuyun.
Teman, kalau kau bilang para korban akan merasakan nikmatnya hubungan seks saat diperkosa, kamu salah. Aku pernah diperkosa dan sudah puluhan kali bercinta dengan banyak orang. Beberapa di antaranya kerap berkelakuan kasar dan tidak jarang aku merasa sakit meski telah dibantu oleh cairan pelumas dari kondom. Hubungan seks yang dilakukan dengan tergesa biasanya menyebabkan ketersediaan cairan lubrikasi pada vagina sedikit, sehingga saat terjadi penetrasi yang dipaksakan, wanita akan merasakan perih yang teramat sangat atau bahkan robek pada vagina. Jadi, berhentilah berbicara jika seakan-akan akhir dari sebuah pemerkosaan adalah: rasa puas yang didapat oleh pelaku dan korbannya.
Teman, sewaktu aku diperkosa saat usiaku lima belas tahun, hanya ada dua hal yang aku rasakan: perih pada kemaluanku dan rasa takut. Aku takut kedua orang tuaku malu karena anaknya sudah diperkosa (tolong salahkan stigma yang ada di masyarakat saat ini) dan aku takut hamil. Aku sama sekali tidak menikmati apa yang bajingan itu lakukan. Aku tidak pernah mendapat orgasme. Selain perih, aku hanya mendapat luka-luka di tangan dan kakiku. Dan ia hanya tertawa sedemikian lebarnya. Setelah aku bisa kabur dari rumahnya dan mengadu pada ibu, polisi menangkapnya dan memenjarakannya. Lalu aku? Aku tidak kunjung lepas dari trauma dan membenci laki-laki. Teman, tersangka yang dipenjara tidak memberikan efek apapun pada korbannya. Korban tetap merasa trauma dan diliputi ketakutan akan hal yang mungkin terulang. Lebih-lebih kalau kamu menyalahkan korban dengan alasan-alasan yang kamu buat-buat sendiri. Aku tidak menyalahkan ucapan kamu yang sekenanya, sebab kamu berbicara karena kamu merasa kamu pandai, bukan karena kamu paham dan merasakannya. 🙂