Ayahku seorang ulama dan ibuku seorang guru ngaji di TPA dekat rumah. Berbeda dengan ulama kebanyakan yang menginginkan anak-anaknya kuliah agama, ayah menginginkan anak laki-lakinya berkuliah di jurusan apa saja, asal serius belajar. Kata ayah, seseorang muslim harus belajar apapun, tidak terbatas pada sebuah bidang atau jurusan. Kakak laki-lakiku yang pertama mengambil jurusan bisnis dan dikuliahkan di Amerika. Kakak laki-lakiku yang kedua mengambil jurusan yang tidak jauh beda di Australia, menejemen. Aku? Sebagai anak bungsu yang kebetulan wanita, aku harus cukup puas karena bisa masuk universitas negeri dengan jurusan yang amat berbeda dari keduanya, sastra. Aku sudah mengajukan sepuluh nama universitas yang aku idam-idamkan. Sayang, ayah hanya meliriknya sekilas kemudian berkata bahwa ia tidak sanggup menguliahkan aku di sana. Maklum, kedua kakakku memerlukan biaya kuliah yang tidak sedikit dan uang bulanan yang tidak sedikit pula. Aku mencoba menahan rasa kecewaku karena memang sepertinya alasan ayah itu benar. Di rumah, ayah dan ibu menghemat beras dan hanya makan dengan lauk-pauk seadanya, terutama setiap anak-anak laki-lakinya meminta uang tambahan.
Kepulanganku ke rumah setiap minggu tidak pernah disambut keduanya dengan antusias. Berbeda dengan kepulangan kedua kakakku setiap tahun. Entah karena mereka terlalu rindu dengan frekuensi bertemu yang sedikit, atau mereka lebih suka tidak melihat rambutku berkibar di beranda. Ya, aku menolak paksaan keduanya mengenakan kerudung. Meski aku tahu itu memang tertulis sebagai sesuatu yang wajib di kitab suci keluargaku. Akan tetapi, aku belum ingin pun belum pernah mengikrarkan diriku sebagai pemeluk agama mereka. Keduanya menanggapi penolakanku dengan dingin. Mereka hanya berbicara seperlunya dan memotong uang sakuku. Dan demi menekan rasa sedihku serta menghemat ongkos. aku memutuskan untuk tidak pulang hingga menjelang lebaran.
Setiap pulang, terutama saat ayah diminta menjadi imam saat shalat tarawih di masjid dekat rumah, beliau pasti akan menyambung-nymabungkan kerudung dan dosa-dosa anak wanita yang akan ditanggung oleh ayah dan saudara laki-laki sang wanita. Ibu juga tak jauh beda, tiap mengajakku pengajian, ia akan dengan ramah memuji siapa saja yang mengenakan kerudung dan menyindirku terang-terangan. Setiap pulang, aku merasa kebebasanku hilang dan keberadaaku perlu dipertanyakan.
Meski aku tidak mengenakan kerudung, aku selalu mencoba untuk tidak berbuat dosa-dosa besar (menurut kitab suci keluargaku) lainnya. Aku tidak bercinta dengan pacarku. Kami hanya saling mencium di pipi dan bibir masing-masing. Berbeda dengan kakak laki-lakiku yang pertama. Aku pernah melihatnya meniduri seorang perempuan di kamarnya, saat ayah dan ibu berangkat umroh. Dan kakak laki-lakiku yang kedua tidak pernah sembahyang. Ia hanya akan berpura-pura sembahyang dan selalu menolak menjadi imam setiap dipaksa ayah salat berjamaah. Ayah dan ibu mungkin tidak tahu kelakuan kedua anaknya hingga mereka selalu bilang padaku bahwa hanya ada satu orang yang sudah pasti masuk neraka dari rumah kami; aku.
Puasa tahun ini aku pulang tiga hari lebih awal dari biasanya. Sejujurnya, aku dipaksa pulang lebih awal agar bisa membantu ibu membersihkan rumah demi menyambut kepulangan kedua anak laki-lakinya. Tugasku cukup mudah. Aku hanya perlu mencuci sprei, membereskan kamar keduanya dari debu, dan berbelanja kebutuhan sehari-hari untuk kami seminggu. Sedangkan ibu dan ayah sibuk mengurus sertifikat dan urusan yang berkaitan dengan penjualan tanah mereka yang terakhir. Tanah yang dijual demi kepulangan kedua anak yang mereka cintai dengan sangat.
Aku menjalani liburanku di rumah dengan perasaan tersiksa. Ayah dan ibu melarangku keluar dari rumah. Kata mereka, aku tidak boleh menambah dosa-dosa karena mempertontonkan aurat di bulan puasa. Mereka menyibukkan aku dengan segala pekerjaan rumah yang melelahkan.
Beberapa belas hari menjelang lebaran, ayah mendapat berbagai tawaran berdakwah di berbagai kota-kota kecil, ibu pun turut menemani ayah karena ia juga mendapat tawaran di tempat yang sama. Aku melepas kepergian mereka dari garasi dengan perasaan yang amat bahagia. Setidaknya aku tidak perlu bertemu dengan keduanya selama beberapa hari.
Sayang, kebehagiaanku tidak berlangsung lama. Kakak laki-lakiku yang pertama membawa seorang wanita ke dalam kamarnya di hari yang sama dengan kepergian kedua orang tuaku. Kedatangan wanita asing itu membuat rumah menjadi berisik. Desahan mereka begitu keras hingga terdengar di kamarku. Sedangkan kakak laki-lakiku yang kedua hanya diam dan tidak keluar dari kamarnya kecuali untuk makan.
Kelakuan mereka selama kedua orang tua kami pergi selalu sama setiap harinya. Wanita yang mendesah dan kesibukan rahasia dalam kamar. Dan aku hanya duduk di beranda belakang sembari berceloteh dengan ikan.
Saat puasa sudah menginjak hari kedua puluh, ayah dan ibu tiba-tiba saja pulang lebih awal. Jadwal kepulangan mereka yang lebih cepat dua hari dari yang sudah direncanakan disebabkan oleh beberapa jadwal ceramah yang dibatalkan. Kepulangan mereka tengah malam yang mendadak itu melahirkan kejutan untuk keduanya. Ayah dan ibu menemukan kakak laki-lakiku yang pertama bercinta dengan wanitanya di kamar mandi lantai bawah. Kejutan mereka tak berhenti sampai di situ. Saat mereka membangunkan kakakku yang nomor dua, mereka menemukan anak kesayangannya dengan keadaan mulut berbusa karena terlalu banyak mengonsumsi narkoba. Dan saat masuk ke kamarku sambil berteriak histeris dengan membawa berita itu, mereka menemukan aku dalam keadaan tertidur penuh senyum. Setidaknya kejadian itu membuktikan bahwa bukan cuma aku yang akan masuk neraka, tapi juga keduanya. Aku tidak peduli kakaku mati atau tidak, sebab aku masih mengantuk. Selamat malam!
BAGUS BANGET!!!!!
LikeLike
Reblogged this on miteemje.
LikeLike