“Kalau kau butuh mainan, aku bisa menjelma menjadi kapal atau pesawat terbang dari kertas, Sayang. Jika kertas tak cukup membahagiakanmu, aku rela memberikan diriku untuk ditukarkan dengan mainan yang terbuat dari plastik, kayu, besi, atau apa saja yang membuatmu tidak berhenti memainkan aku.”
Aku jatuh hati pada seorang pemuda yang ramah. Ia selalu menebar senyum pada setiap tatapan matanya. Dirinya juga tidak jumawa, pun disukai banyak orang. Meski tidak sempurna, aku merasa ia adalah orang yang tepat untuk dipuja.
Kami teman satu sekolah. Aku selalu memandanginya diam-diam setiap kali upacara bendera, terik sinar matahari membuat lehernya dipenuhi keringat yang terlihat menggairahkan. Terkadang, jika beruntung, aku bisa melihatnya duduk di kantin yang ramai. Aku harus mengunyah makananku lebih lama agar bisa menatapnya lekat-lekat. Ia terlihat menawan meski dengan beberapa butir nasi yang menempel di sudur bibirnya.
Suatu hari, ketika aku sibuk dengan serentetan tugas yang mengharuskanku tinggal lebih lama di sekolah, ia ada dan menawarkan ketenangan lewat matanya. Aku hanya terpaku dan melonjak-lonjak kegirangan dalam hati. Ia tidak berkata apa-apa dan berlalu pulang begitu saja. Akan tetapi, itu cukup untukku. Aku semakin jatuh hati pada pesonanya.
Entah di hari yang ke berapa, tiba-tiba saja kami duduk berdampingan dan bercerita bagaimana susahnya ujian sekolah. Ia tidak mengeluh atau bersungut-sungut meski hanya bisa mengerjakan dua puluh soal matematika dengan betul. Ia hanya tertawa dan berkata bahwa aku akan tetap lulus meski dengan sepuluh jawaban benar. Ia di sana, melepaskan gundahku. Hanya dengan kata, tanpa perlu melakukan apa-apa.
Kami menjadi dekat sekali setelah itu. Seperti telah diatur oleh Tuhan, rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumahku. Ia menawarkan tumpangan setiap pagi dan sore hari. Dan sebagai rasa terima kasih, aku memberikan hatiku padanya. Sepenuhnya.
Beberapa bulan kemudian, saat aku singgah di kamarnya, aku tahu bahwa ia gemar sekali bermain. Ada banyak gambar mainan yang tertempel di cermin lemarinya. Di salah satu sudut, ada gambarku di sana. Dan aku terdiam sembari berdoa jika ia tidak pernah bosan memainkanku. Sebab aku belum siap patah hati dan hancur karenanya. Tidak, tidak sekarang.
Ha?
LikeLike
Lu ngapa sik.
LikeLike
Ah, se
LikeLike
tulisannya jadi dipublish malem ini kan kak?
LikeLike