Tiga Pertanyaan

Aku bisa membaca semua pertanyaan pada lembar yang diberikan ibu guru tadi pagi. Akan tetapi, aku tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang tertera di sana. Bayangan SD yang kelam membuat kakiku gemetar. Aku harus bicara pada ibu secepatnya!

Tiga pertanyaan yang tidak bisa aku jawab adalah; nama ayah, pekerjaan ayah, dan alamat ayah. Bukannya aku bodoh dan tak mampu menghapal hal-hal tentang ayahku, hanya saja aku memang terlahir tanpa ayah. Aku lahir dari rahim seorang wanita perkasa, bukan lahir dari perut buncit seorang pria. Kata ibu, aku memang tidak boleh dekat dengan laki-laki, karenanya aku besar tanpa seorang ayah. Sayang, tetanggaku sering salah kaprah. Ibuku yang suci dan menjauhi dosa dari laki-laki dianggap mereka hina. Mereka bahkan menyebutku haram.

Aku sampai di rumah dan ibu belum pulang. Kepalaku mengingat kejadian kelam sewaktu SD. Beberapa belas bulan lalu, saat aku mengaku dengan lantang bahwa aku terlahir tanpa ayah, semua orang tua melarang anaknya bermain bersamaku. Kata mereka ibuku sundal dan aku anak haram yang bisa membawa seribu kutukan. Tak ada yang mau berada di dekatku, bahkan ibu guru hanya menenangkan aku sedakarnya, tanpa meminta orang tua teman-temanku menghentikan ledekan mereka. Sejak itu, aku enggan pergi ke sekolah. Hingga tiba-tiba ibu mendaftarkan aku pada sekolah yang lain.

Saat ini aku sudah kelas satu SMP. Semuanya terasa seru hingga pertanyaan setan itu datang lagi. Aku tidak tahu apa kegunaan daftar isian itu semua. Apakah sekolah tidak pernah berpikir akan kemungkinan orang-orang yang lahir tanpa ayah atau ibu? Apakah sekolah lupa bahwa bisa saja ada anak yang hidup di panti asuhan? Atau bahkan fakta bahwa seseorang bisa saja melakukan kloning. Entahlah, aku benar-benar takut akan diolok-olok oleh teman-teman baruku. Aku sudah ratusan kali bertanya pada ibu perihal pemberi sperma pada rahimnya yang menjadikan aku ada. Sayang, setiap kali ditanya, ibu akan pura-pura sibuk dan kemudian pergi tanpa menjawab. Dan aku hanya bisa menelan rasa ingin penasaranku bulat-bulat.

Suara pintu membuyarkan lamunanku. Ibu sudah pulang. Aku segera meyampaikan tiga pertanyaan tadi agar segera dijawabnya. Kali ini aku tidak akan membiarkan ibu mengelak lagi. Ibu tersenyum lelah dan berkata bahwa ia akan menjawab pertanyaanku esok lusa, dan aku tidak perlu pergi ke sekolah hingga aku berhasil menjawab tiga pertanyaan tadi.

Keesokan paginya, aku pergi menemani ibu ke pasar. Ia membeli sebuah sarung, satu liter miyak tanah, seekor ayam hidup, beras, belati, sayuran, dan beberapa bumbu dapur. Aku menghabiskan hariku dengan membantu ibu memasak agar ibu tidak terlambat pergi bekerja. Malam hari, sewaktu aku terbangun karena ingin buang air, aku melihat ibu mengasah belati. Aku tersenyum lebar, pasti besok ibu akan memotong ayam yang kemarin kami beli dan menjadikannya gulai. Setelah buang air, aku tidak melihat ibu di mana pun, mungkin saja ia sedang sibuk di halaman belakang bersama ayam yang akan kami makan.

Matahari belum tinggi saat ibu membangunkanku dengan senyum lebar. Ia memintaku segera mandi dan pergi bertemu ayahku. Aku hanya menatapnya heran sembari menuruti perintahnya. Beberapa waktu setelahnya, aku berada di sebuah rumah besar yang ramai akan orang-orang. Ibu menariku masuk dan menyuruhku mengecup jenazah seorang pria tua dengan leher tersayat yang sedikit mirip denganku. Ia berkata bahwa ini adalah ayahku. Ibu kemudian menyuruhku pergi bermain di dalam rumah sementara ia larut bersama tangisan orang-orang.

Di dalam rumah, aku menemukan potret besar sebuah keluarga yang terlihat bahagia. Potret itu berisi tiga orang, seorang wanita yang aku yakin berperan sebagai ibu, seorang lelaki -serupanya sama dengan jenazah di depan- yang aku yakin sebagai ayah, dan ibuku yang terlihat sebagai anak mereka. Aku terdiam dan mencoba mereka semua kejadian satu demi satu. Aku benar-benar bingung dengan semua yang terjadi. Aku putuskan untuk memejamkan mataku dan mendadak semua gelap.

Aku terbangun di kamarku karena tidak tahan dengan nyaringnya kokok ayam di pekarangan belakang. Ternyata aku terlelap cukup lama dan harus bersiap-siap ke sekolah. Di meja belajarku, aku menemukan kertas yang sudah terjawab semua. Aku terseyum dan pergi mandi. Tidak akan ada lagi yang mengejekku. Semua berakhir sempurna.

 

“Nama ayah: Bangjingan

Pekerjaan Ayah: – (sudah mati)

Tempat Tinggal Ayah: – (sudah mati)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s