Makan Teman

“… Saya lebih memilih makan teman sendiri ketimbang makan hati

Mawar dan saya sudah berteman bertahun-tahun. Meski rumahnya dari rumah saya tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki, rumah kami ada di kecamatan yang sama. Kalau tidak salah hitung, kami berteman selama enam tahun. Saya mengenalnya dengan sangat baik. Bahkan mungkin lebih baik dari saya mengenal diri sendiri.

Sejak dulu, kami selalu tampil serupa. Rambut diikat ekor kuda, celana panjang ketat, dan kemeja kebesaran. Sejak dulu, kami selalu pergi bersama hingga kerap dikira kembar atau saudara. Sejak dulu, kami selalu berada dalam satu sekolah yang sama biarpun tanpa perjanjian. Sejak dulu, kami selalu menyukai hal yang sama. Dan tiba-tiba saja, sekarang kami tak hanya menyukai hal yang sama saja, tapi juga pria yang sama.

Entah siapa yang mencintai Gusti lebih dulu, bisa saja Mawar atau saya. Akan tetapi, saya lah yang berceloteh tentang impian saya merasakan bibir lelaki yang kehitaman itu pada suatu hari saat kami bermalam bersama. Mawar menanggapi omongan saya dengan wajar, ia tertawa lebar, memberi dukungan, menambahkan lelulucon kotor, dan mendoakan saya agar mendapatkan cinta Gusti. Ia sama sekali tidak terlihat keberatan atau menunjukan kekecewaannya.

Seperti dikabulkan Tuhan, doa Mawar –berikut lelucon kotornya- jadi kenyataan. Gusti membalas perasaan saya, ia juga memberikan bibir kehitamannya juga hal-hal lain pada tubuhnya untuk saya setiap malam. Saya bahagia. Mawar pun tampaknya juga ikut senang atas kebahagiaan saya. Setiap malam ia selalu mengingatkan saya agar tak lupa pakai pengaman.

Akan tetapi, kebahagiaan memang tidak ada yang selamanya. Gusti meminta pisah setelah hubungan kami menginjak bulan ke-2. Saya sudah mencoba menahannya sebisa mungkin, tapi penolakannya lebih kuat dari tangisan saya. Pria itu saya lepaskan meski susah untuk direlakan. Ia mungkin bukan kepunyaan saya, tapi janin di kandungan saya memilikinya seutuhnya.

Dua minggu berlalu dan Gusti tak kunjung dapat ditemui. Saya semakin ketakutan menghadapi perut yang semakin buncit. Mawar juga sudah lama tak mampir ke rumah hingga saya tak kunjung berbagi rahasia.

Seminggu kemudian, saat mual saya bertambah parah, saya memutuskan untuk datang pada Mawar. Rumahnya terlihat sepi meski lampu di dalam menyala. Saya sudah mengetuk pintu berkali-kali dan tak ada yang membuka. Telepon pun tak kunjung diangkat. Beruntungnya, pintu rumahnya tidak dikunci. Mawar pun ada di rumah. Gadis itu sedang duduk dan sibuk dengan urusannya. Ia duduk di pangkuan Gusti sambil memangut bibir hitam pria itu. Bibir kehitaman yang dulu milik saya.

Mereka berdua tergagap saat melihat saya mematung di sudut ruangan. Saya pergi sebelum mereka sempat berpakaian dan repot-repot menjelaskan. Setelahnya, saya bergegas memesan penerbangan ke kota sebelah pada hari yang sama, dan melakukan hal yang sudah sepantasnya.

Saya mungkin lebih memilih menghilangkan janin saya sendiri, ketimbang dikasihani orang lain. Akan tetapi, saya tidak akan pernah memilih memakan teman sendiri ketimbang makan hati.

Di antara anyir yang menusuk hidung, saya berdoa supaya saya mati bersama janin saya sendiri. Mati bersama buah cinta dari pria yang menjadikan saya kapal yang dinaiki dan dikaramkan setelahnya.

14 thoughts on “Makan Teman

  1. Sedih ya melihat masih ada ketergantungan perempuan terhadap laki-laki. Dan pada akhirnya mengapa perempuan mesti merasa hilang daya? Semoga ini mengajarkan kita ya bahwasanya apapun gaya hidupnya, jangan sampe rela dibikin korban. Nice story, kak 🙂

    Like

Leave a reply to Mbak mbak pecel perpus Cancel reply