“Ia mungkin tidak kaya, tapi padanya lah aku temukan tenang.”
Aku rasa aku baru saja jatuh hati pada seorang pemuda serba biasa. Senin siang, tatapan kami bertemu di sela-sela anak tangga jembatan penyeberangan jahanam kampusku. Seperti kataku tadi, ia begitu biasa. Kaos hitamnya terlihat murahan, celananya sobek-sobek, dan tas punggungnya juga sudah koyak di beberapa sisi. Akan tetapi, aku menemukan sesuatu pada dirinya. Entah apa.
Rabu siang, pria itu naik jembatan yang sama denganku lagi. Napasnya putus-putus meski hanya menaiki dua puluh anak tangga. Aku tak tahu apa yang membuatnya terasa begitu meneduhkanku meski keringat mengucur dengan deras dari dahinya. Cukup lama aku terdiam memandanginya dari sudut jembatan sembari berpura-pura sibuk menunggu orang lain. Ia berlalu tanpa senyum, namun meninggalkan tanya di kepalaku; Apa besok atau seterusnya aku dapat melihatnya?
Kemarin siang ia tak datang meski aku sudah menunggunya dua puluh menit. Padahal aku sudah tidak sabar melihatnya. Aku juga sudah bangun lebih pagi agar bisa bersiap lebih lama dan berangkat lima menit lebih awal. Sebenarnya aku ingin menunggunya sampai malam. Sayang, ada beberapa tugas yang tidak boleh telat dikumpulkan.
Tadi siang, saat aku nyaris terjatuh saat hendak naik jembatan, ada sepasang lengan yang menahanku dari belakang. Ia melepaskan lengannya secepat mungkin dan mengunci mataku setelahnya. Kami bertatapan lagi cukup lama. Cukup untuk membuatku jatuh cinta dengan sederhana. Ia mungkin tidak kaya dan serba biasa, tapi aku menemukan pulang pada matanya yang teduh. Ya, pada pria yang biasa itu, aku menemukan rumah yang damai.
Wkwk
LikeLike
😦 ngerasa ya, Mba?
LikeLike
Katanya pria itu dipanggil rumah? Perasaan nggak ada tuh bagian manggil-manggilnya. Nggak relevan! Ndak mudeng aku.
LikeLike
Itu kiasan, Adik Manis. 🙂
LikeLike