“Semua orang dipertemukan dan mempertemukan orang lain. Pada suatu masa tertentu, pertemuan yang telah terjadi akan menghasilkan sebuah perpisahan; Kepergian yang dilepaskan dengan tangisan atau tawa bahagia.”
New York sedang diselimuti tumpukan salju. Dinginnya cukup untuk membekukan air di kolam belakang. Sayang, udara tidak pernah sanggup membekkukan luka; lukaku. Hatiku masih nyeri, lukanya memang tak pernah kentara atau berdarah, tapi sakitnya cukup untuk membuatku ingin mati. Aku yang menciptakan luka ini, menjaganya agar tak sembuh, memupukknya dengan kenangan, membiarkannya mengerogoti aku hingga saat ini, dan menyesalinya berkali-kali.
Ada sebuah mimpi di bulan ini; Mimpi menari dengan lepas kemudian jatuh berguling-guling sambil berpelukan erat dengannya di atas tumpukan salju. Di benakku masih jelas terkenang impian-impian yang kami lontarkan selepas melepas lenguhan. Jutaan detik bahagia yang lewat terasa hancur dalam sekejap. Sebuah keyakinan tercetus dalam benakku. Musim ini akan penuh dengan air mata dan luka yang tak kunjung beku meski buku-buku jari telah memutih karena kedinginan.
Demi segala nama Tuhan yang pernah disebut semua manusia, aku mencintainya. Aku sungguh-sungguh mencintainya. Melabuhkan segala gundah ke dalam pelukannya adalah hal yang paling benar dalam hidupku, terbangun dengan kecupan-kecupan mesra adalah cara aku mengawali hidup, dan melihat senyumnya barang sekali dalam sehari adalah satu-satunya cara agar aku terus bertahan dengan segala kepenatan dunia.
Ia datang dengan begitu sederhana, dengan perlahan ia melengkapi duniaku, setelah itu, dengan perlahan pula hatiku dicuri sepenuhnya. Aku masih ingat dengan jelas, ia pria yang gemar duduk di sudut café, pesanannya selalu kopi sumatera tanpa gula dan sepotong éclair caramel dingin. Aku mengenalnya sekilas karena kami hampir selalu duduk berseberangan, ia terpaksa meminjam lighter-ku karena lupa membawa miliknya. Setelah itu, di pertemuan kami selanjutnya, ia menyapaku dengan senyuman. Dan entah di pertemuan yang keberapa, kami terbangun pada ranjang yang sama lengkap dengan peluh yang menjelma menjadi rasa dalam hati masing-masing.
Semuanya hampir sempurna. Buat kami, tidak ada satu hal pun yang salah. Persetan dengan fakta bahwa kami tidak akan pernah punya keturunan jika menikah. Semuanya menjadi sempurna saat ia melamarku, memintaku untuk menghabiskan sisa napas kami bersama. Ya, kami menghabiskan sisa napas kami bersama, selamanya; selama -satu bulan aku dicintai oleh- nya.
Pada suatu senja, di bawah gugur daun yang mati, ia memintaku menunggu. Ia dipaksa menikah dengan seorang gadis kenalan ibunya demi seorang keturunan. Dengan air mata yang tak kunjung berhenti, ia memintaku tinggal selama satu atau dua tahun. Dan aku mengabulkan permintaannya. Sayangnya, di musim dingin, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Ibunya yang tahu hubungan kami secara tidak sengaja mengancam akan bunuh diri jika ia meneruskan hubungannya denganku. Kami pun berpisah lewat panggilan telepon lima menit tiga puluh lima detik.
Sejak panggilan itu, aku tak pernah lagi mendengar suara atau deru napasnya lagi. Ia menghilang bersama sejuta harapan bahagia yang kami kumpulkan bersama. Kepergiannya meninggalkan luka yang selalu menganga dan tak kunjung sembuh meski lepas setahun.