Surat yang Tidak Sempat Dibalas

Pengingat yang ulung, itu sebutanku. Aku ingat daftar belanjaan ibuku tanpa perlu mencatatnya. Aku ingat semua hal, baik suka ataupun duka yang pernah aku alami. Ya, aku memotret setiap peristiwa dan membingkainya dengan rapi dalam ingatan, membuat semua memori menjadi kekal.

Aku ingat dengan jelas bagaimana ibu menjadi seorang tukang kayu untuk membayar biaya sekolahku–yang hanya sepuluh ribu sebulan. Aku ingat di suatu malam kami berbagi seporsi mie instan, waktu itu ibu sakit tulang dan tidak punya uang, ia tidak sanggup menjual kayu ke desa bagian selatan. Di malam itu, aku berharap esok atau lusa akan ada tetangga yang meninggal, supaya ada makanan atau kue-kue tahlilan yang dibagikan cuma-cuma.

Aku juga ingat dengan jelas bagaimana ayah melambaikan tangan di depan dipan. Ayah pamit pergi ke kota, katanya untuk mencari uang agar kami tidak kekurangan pangan. Lambaian Ayah tidak pernah kubalas, sebab aku  berharap itu bukanlah yang terakhir.

Sayang, ayah tidak menepati janjinya. Ia tidak pernah pulang pun mengimkan kami uang bulanan. Toh pada akhirnya aku dan ibu tetap saja kurang makan. Lebih-lebih sekarang ibu sakit tulang karena memikul kayu yang terlalu berat.

Ibu mulai membenci ayah, tapi aku tidak. Aku merasa bahwa ayah mungkin hanya belum sempat pulang, mungkin juga gajinya belum dibayar oleh mandor tempatnya membangun gedung. Lima bulan berlalu, tapi ayah tak kunjung memberi kabar. Ibu semakin kesal, ia bilang bahwa dirinya akan minta cerai setelah ayah pulang nanti.

Bulan demi bulan berlalu. Pak Kamal, tetangga sebelah rumah yang juga bekerja di tempat yang sama bilang bahwa ayah telah berselingkuh dengan seorang tukang jamu genit yang gemar memasukan uang ke balik kutang. Katanya juga, ayah telah menikahi Yugiyem (si tukang jamu) dan tak ingin pulang ke kampung halamannya, ingin melupakan aku dan ibu.

Ibu menjadi berang. Ayah sudah tak lagi dibencinya, melainkan sudah dianggap mati. Hati ibu mengeras dan Ayah sudah dilupakannya. Namun, seperti anak-anak lainnya yang mencintai bapak kandungnya, aku tidak pernah membenci Ayah.

Di tahun ketiga, ibu sudah menikah lagi. Pak Kamal, suami ibu yang baru sudah tidak lagi menjadi kuli di kota, ia sekarang menjadi tukang ojek di kampung. Aku tidak terlalu kenal dengan pria itu pun tidak ingin mengenalnya. Iya bukan ayahku dan tidak pernah mampu menggantikan Ayah.

Hidup kami berubah, ibu nampak lebih bahagia dan sekarang aku sudah bekerja. Ayah perlahan-lahan menghilang, seperti kata ibu, Ayah sudah mati; ia hanya hidup dalam ingatan.

Suatu hari, ada tukang pos yang datang ke rumah. Mengantar surat dari Ayah untuk ibu. Kebetulan ibu ada di depan pintu dan ia terkejut melihat pengirimnya. Aku penasaran apa isi suratnya dan ibu bersikeras melarang. Ia mengambil surat itu dan disembunyikannya, entah di mana, tanpa dibaca lebih dulu.

Bulan demi bulan berganti. Surat dari ayah masih misteri. Setiap kutanya pada ibu, dia selalu menjawab bahwa ia belum membacanya dan entah di mana menyimpannya.

Bulan telah berganti menjadi tahun, surat itu sudah hampir terlupakan. Aku bahkan hampir lupa bahwa aku punya ayah dan pria di rumah yang selalu minta dipanggil ‘Bapak’ bukanlah pemilik sperma yang menjadikanku ada. Aku yakin bahwa aku pasti lupa jika surat misterius itu tidak jatuh di atas kepala saat aku hendak mengambil kemonceng.

Aku membuka surat itu dengan gemetar. Aku takut ibu melihatku dan memukuliku habis-habisan. Kukuatkan tekadku, aku harus tahu di mana ayah. Surat itu kotor, ada banyak bekas coretan. Isinya juga hanya satu baris.

“Aku ingin pulang. Tapi belum mampu. Tolong jemput Aku, Sum. Jemput aku secepatnya.”

***

Ayah tidak bilang di mana ia minta dijemput atau nomor telepon siapa yang bisa dihubungi. Beruntung, alamat pengirim surat itu masih terbaca. Kusalin alamat itu, meskipun aku tidak pernah ke kota, aku harus bertemu ayah. Iya berhutang janji untuk pulang dan ia wajib menepatinya.

Ke kota tidaklah semudah yang kukira. Ada banyak gedung dan nama jalan yang hampir serupa. Aku tidak cukup pintar untuk mencarinya satu-satu. Berbekal lima lembar uang seratusan ribu yang aku curi dari laci ibu, aku minta diantar supir taksi ke alamat dari surat tadi.

Lokasinya cukup jauh. Aku menghabiskan waktu sekitar tujuh puluh menit untuk mencari alamat ayah. Letaknya di sebuah jalan kecil yang masih sepi, hanya ada dua gedung besar. Mungkin, keduanya adalah gedung tempat ayah bekerja.

Alamat yang diberikan ayah sedikit tidak jelas. Nomor 101 A belum ada di jalan itu. Selain itu, nomor rumah di sana berantakan, tidak urut. Di pinggir jalan aku berdiri kebingungan. Saat hendak berbalik pergi, sudut mataku menangkap angka 101 di salah satu sudut gedung.

Aku menyusuri samping dan balik gedung itu, mencari nomor rumah yang dibilang ayah. Dan ternyata benar, ada sebuah bangunan sangat kecil di tengah tanah luas berpagar, sebuah bangunan tanpa nomor.

Ayah tidak ada dalam bagunan. Bangunan tanpa nomor yang besarnya tak lebih dari lima meter itu kosong. Namun, aku berhasil menemukan rumah ayahku dan sebuah papan di atasnya.

***

“Suamiku sudah ketemu. Aku minta cerai dari kamu, Kamal Anjing! Penipu! Bajingan. Sebentar lagi keluarga kecilku utuh lagi. Suamiku pulang bawa uang.”

“Bu, minum obatnya dulu.”

***

Ayah tidak pernah kembali pulang. Ia tetap tinggal di tanah 101 A itu. Seperti yang kubilang tadi, ayah tinggal dengan sebuah papan di atasnya, sebuah nisan kayu dengan tanggal yang tak jauh beda dari surat yang dikirimnya.

Kematian ayah hanya berselang satu minggu dari surat yang dikirimnya. Ibu menyesal setengah mati. Andai saja surat itu langsung dibaca dan dibalas oleh ibu lebih cepat. Andai saja kami sempat melihat ayah dan memeluknya erat.

Satu hal yang sekarang kami tahu, ayah tidak pernah selingkuh. Ia tak pulang karena kecelakaan. Ia mengutus Pak Kamal untuk pulang dan meyampaikan pada ibu bahwa ia perlu berobat dengan jangka waktu yang cukup lama. Namun, ternyata bajingan bernama Kamal itu penipu. Ia memutar cerita, menjadikan ibu miliknya, melupakan teman yang mendorong dirinya jauh dari celaka.

Penyesalan ibu tiada ujungnya. Ia menjerit pilu setiap hari, kemudian tertawa, menangis, dan menjerit pilu lagi. Surat terakhir dari ayah selalu dipeluknya erat. Surat itu sudah robek, lusuh, dan tak akan pernah sempat dibalas.

One thought on “Surat yang Tidak Sempat Dibalas

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s