Ayam Kampus

“Aku mendekati pria tua itu bukan karena aku butuh uang. Aku mendekatinya karena Ibu menyuruhku demikian.”

 

Andai bisa, aku ingin segera menjadi sarjana tanpa perlu kuliah lagi. Bukannya aku tidak suka belajar atau jenuh dengan tugas dan ujian, aku hanya lelah meladeni setiap cemoohan dari teman-teman satu kampus. Awalnya aku kira kabar buruk tentang diriku akan pudar seiring berlangsungnya Ujian Akhir Semester, tetapi aku salah. Kabar buruk itu terus saja tersiar hingga ke banyak angkatan tanpa dipedulikan kebenarannya.

Sejak bulan lalu, beberapa orang memanggilku Ayam Kampus. Mereka memanggilku demikian bukan karena aku gemar duduk di kedai ayam cepat saji dekat kampus, melainkan karena salah seorang teman sekelasku beberapa kali memergokiku makan dan diantar oleh ayah tirinya; seorang pria baya berusia lima puluhan.

Teman-teman sekelasku sempat menanyakan kabar itu dan sudah kujawab terang-terangan bahwa aku tidak seburuk perkiraan mereka. Sayang, kebanyakan dari mereka lebih percaya apa yang dilihat orang lain ketimbang kenyataan yang aku rasakan. Orang-orang yang mengaku manusia itu tidak peduli dengan pernyataanku dan memperlakukan aku seakan-akan derajatku lebih rendah dari mereka.

Aku memang sedang dekat dengan seorang laki-laki tua –yang kebetulan- kaya. Kami bertemu beberapa bulan lalu di sebuah pusat perbelanjaan. Selepas pertemuan itu, ia tak henti menghubungiku dan memberikanku berbagai barang mewah, termasuk rumah. Setiap bulan, ia pasti rutin mengunjungiku di daerah kampus. Kalaupun beliau sibuk dan berada di luar kota, sekertarisnya akan datang ke tempatku dan mengantarkan tiket pesawat yang lengkap dengan kunci kamar hotel yang ditidurinya. Ya, ia seakan tidak mau berpisah lagi denganku. Aku pun demikian.

Pria paruh baya itu selalu bilang agar aku pindah kuliah ke luar kota saja untuk menghindari cemoohan yang membuat kepalaku sakit. Terkadang ia juga kerap berkata bahwa aku tidak perlu kuliah dan bekerja, ia punya cukup uang untuk menghidupiku bahkan meski dia mati.

Liburan semester ini aku diajaknya pergi mengelilingi pulau Jawa. Akibatnya, aku tidak kunjung pulang meski Ayah sudah khawatir dan menanyai kabarku berkali-kali. Aku selalu berkelit dan berkata bahwa aku akan pulang akhir bulan.

Aku tahu cepat atau lambat pasti Ayah tahu tentang permasalahan di kampus dan alasanku tak kunjung pulang. Salah satu kerabat yang satu kampus denganku menceritakan semua hal yang berkaitan dengan Aku dan laki-laki tua itu pada orangtuaku. Ayah murka dan membanting barang-barang hingga hancur saat aku berada di rumah.

“Kenapa kamu tidak kunjung menjauhi Tua Bangka itu meski Ayah sudah menyuruhmu berkali-kali di telepon, Sekar? Ayah masih mampu memberikanmu uang, jadi berhentilah menjual dirimu sendiri.”

“Sebelum mati, Ibu pernah bilang bahwa pria itu adalah ayah kandungku.”

One thought on “Ayam Kampus

Leave a comment