Salahkan Saja Tuhan

“… Aku mencintainya sebab aku ingin; mencintai dan dicintai (olehnya)…”

 

“Jangan pegang tanganku. Aku malu. Nanti kalau mama tahu gimana?”

“Tenang saja. Bilang saja kita teman dekat.”

“Tapi bukankah kita teramat dekat untuk sekadar jadi sahabat?”

“Tidak. Berpegangan tangan masih normal untuk saat ini, Rin. Tidak akan ada yang curiga. Percayalah”

“Baiklah… Tapi jangan sampai kita ketahuan. Papa bisa membunuhmu kalau tahu kita pacaran.”

 

Namanya Arina. Ia perempuan bermata hitam dengan hati yang baik. Ia selalu mendapat peringkat satu di kelas kami. Dia duduk di depan meja guru, dua meja di depanku. Sejak SD kami selalu satu sekolah, dan sejak kelas satu SMA, kami berpacaran diam-diam. Tidak ada yang tahu. Kami menyimpan rahasia itu diam-diam dan selalu berkata bahwa kami sahabat dekat.

Ia rela masuk IPS agar mendapat kesempatan sekelas denganku. Ia selalu membawa dua kotak bekal dan meletakkan salah satunya di kolong meja kelas pagi-pagi sekali. Tidak ada yang tahu. Kecuali Tuhan dan kami.

Arina dan aku tidak pernah berkencan meski kami sudah berpacaran dua tahun. Kami hanya saling bertukar pesan di media sosial. Kalau tidak salah hitung, kami hanya pernah berpelukan tiga kali. Satu kali sewaktu aku datang ke kelas terlalu pagi, kedua kali saat kami pulang larut malam sehabis latihan karate, dan yang ketiga kali saat kami melewati hujan berdua malam-malam sepulang. Kami tidak sebebas orang lain. Aku tidak bisa menunjukan rasa cintaku padanya meski aku ingin sekali. Meski tidak pernah bisa mencium bibirnya, aku tidak pernah keberatan. Sebab, aku tidak mencintainya hanya untuk tubuhnya. Aku mencintainya sebab aku ingin; mencintai dan dicintai (olehnya).

Di penghujung kelas tiga, kami mulai sibuk dengan persiapan ujian masing-masing. Kami punya tujuan kulia di kampus yang sama dan jauh dari tempat tinggal kami agar bisa tinggal bersama. Aku belajar setengah mati dan ia pun demikian. Tiap malam aku membaca dan terus mengerjakan latihan soal. Demi dia. Demi hubungan kami ke arah yang lebih menjanjikan.

Selepas ujian nasional dan kami libur sekolah, kami jarang berkabar. Awalnya aku kira ia sebegitu sibuknya hingga ponselnya tidak bisa dihubungi. Akan tetapi, setelah SBMPTN, aku tidak menemukannya di kampus yang kami impikan. Tidak di jurusan Akuntansi pun Komunikasi. Semua pesan yang aku kirimkan di semua media sosialnya juga tidak digubris.

Pada akhirnya, aku memberanikan diri untuk datang ke rumahnya, tetap dengan topeng teman baik. Ya. Aku menemukan ia ada di rumahnya sendirian dengan perut berisi calon bayi. Aku gemetaran bertanya dan menunggu jawaban darinya. Ternyata ia hamil karena salahku. Ayahnya tahu kalau aku adalah kekasihnya. Karenanya, Ayahnya memilih seorang pria yang diyakininya sebagai calon terbaik untuk menidurinya berkali-kali, sampai hamil, agar Arina tidak punya alasan untuk lari dan memasrahkan hidupnya di tangan keluarganya, demi calon anak dan harga dirinya sendiri.

“Jangan salahkan cinta kita, Wati. Salahkan saja Tuhan yang menakdirkan kita sebagai dua perempuan.”

One thought on “Salahkan Saja Tuhan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s