“Jangan terlalu cinta, nanti kamu kecewa. Saya sudah merasakannya.”
Ada seorang perempuan yang amat mencintai kekasihnya. Ia gemar datang lebih pagi ke perkebunan hanya untuk memastikan pria yang dicintainya sarapan. Wanita itu rela pulang larut malam karena ingin melihat sang pria berlarian di bawah hujan sambil bermain judi di tengah histeria teman-temannya.
Tahun demi tahun dilalui wanita itu penuh bahagia. Segala janji dan ucapan manis sang kekasih terpatri jauh di lubuk hatinya. Setiap hari ia berdoa agar Tuhan menyegerakan satu demi satu janji manis yang dijanjikan sang pria padanya. Agaknya Tuhan terlalu banyak mendengarkan doa dari banyak orang hingga lupa padanya. Kekasihnya tak kunjung menepati janji dan memelih pergi meninggalkannya.
Wanita itu kemudian terluka parah dan tak ingin mencintai orang lain lagi. Ia menutup pintu hatinya rapat-rapat dan memilih bersembunyi di balik dinding birunya. Dengan cara menyembunyikan diri tersebutlah ia yakin bahwa dirinya tak akan pernah jatuh cinta lagi.
Setiap hari ia menghabiskan waktunya dengan melakukan segala pekerjaan rumah atau pekerjaan apapun yang membuat dirinya sibuk hingga tak punya waktu untuk menangis. Jika persediaan makanannya habis, ia akan menelepon toko sembako dan meminta mereka untuk mengirimkan berkarung-karung bahan makanan dengan segera.
Sayangnya, tak semua orang bisa hidup di dalam istananya terus-menerus. Kedua orangtua wanita itu memintanya datang ke kampung halaman untuk mengikuti upacara pemakaman neneknya. Ia lantas pergi dengan baju panjang dan pandangan yang mengarah ke bawah. Demi segala Tuhan, ia tak ingin melihat siapapun. Berjam-jam ia menempuh perjalanan jauh ke desa seberang. Di tengah perjalanan, ia sadar bahwa dia tidak sendirian. Ada yang mengikutinya ke mana pun ia berjalan. Ia melihatnya dengan jelas meski pandangan ke bawah. Lantas hatinya seperti terketuk dan membuka lagi. Kali ini wanita itu percaya bahwa yang akan dicintainya tidak pernah tega menyakiti dirinya. Wanita itu memilih mencintai bayangannya sendiri.