Bukan (Calon) Istri Idaman

Pacarku sedang ngambek. Ia berulang kali menggerutu karena aku datang terlambat. Bibirnya dimonyongkan, rambutnya ditarik-tarik, ia benar-benar terlihat seperti kera saat sedang begini.

Terkadang—contohnya sekarang—ia bisa menjadi sangat dramatis, semua hal dilebih-lebihkannya. Kau tahu, aku sebetulnya tidak benar-benar terlambat, hanya beberapa menit. Lebih tepatnya, sih, lima puluh menit. Ukuran normal lah untuk orang yang tinggal di Jakarta, di Jumat malam begini. Jalanan macet dan lahan parkir yang tidak sebanding dengan jumlah pengunjung mal adalah penyebabnya. Wajar, bukan?

Pacarku masih menggerutu. Aku menangkup gelas kopi kertasku dengan kedua tangan, mencoba mencari kehangatan yang menyabarkan. Semua pengunjung kafe mulai melirik, ingin tahu apa yang dilakukannya. Aku memandang ke arah siapapun yang melirik ke arah kami dengan tajam, menandakan bahwa ini bukan urusan mereka.

Kopiku sudah tidak terlalu panas dan ia masih menggerutu. Kesabaranku mulai habis, namun tepat saat aku ingin membalasnya, ia menatapku lekat kemudian berbisik.

“Aku ingin hubungan kita dihentikan untuk untuk sementara waktu.”

Aku mengerjapkan mataku, mencoba mencerna situasi.

“Kamu boleh dekat dengan pria lain atau pada siapapun. Aku tidak keberatan. Sebab aku juga akan melakukan hal yang sama.”

Aku tidak mengatakan apa-apa.

Ia pun tidak melanjutkan omongannya. Pria yang beberapa saat lalu kusebut sebagai kekasihku mengambil tasnya kemudian pergi.

***

Aku sudah sampai di rumah dengan selamat, sejak dalam perjalanan hingga saat ini aku tidak menangis sedikitpun. Satu-satunya yang sedang berkecamuk di kepalaku adalah penyesalan. Aku menyesal karena tidak sempat menyiram kopi panas ke wajah mantan kekasihku. Aku menyesal karena tidak marah karena sudah membiarkan 90 menitku terbuang untuk menemuinya. Toh kalau dia hanya ingin bilang putus, ia cukup mengabariku lewat sms atau telepon.

Sudah lima tahun kami berpacaran. Aku pertama kali mengenalnya dari teman kampusku tujuh tahun yang lalu. Dia anak fakultas sebelah. Kata temanku, orang tuanya kaya raya dan ia anak yang taat beribadah. Tidak hanya menjanjikan surga di hadapan Tuhan nantinya, ia juga terlahir dengan fisik yang memanjakan mata. Matanya hitam pekat, rambut hitamnya lebat, dadanya bidang, dan bibirnya yang tebal pun tahu cara mencium hingga bibirku bengkak juga kehabisan napas.

Arkan adalah pasangan yang sempurna, di mata komunitasku dan di mata semua orang yang mengenalnya. Aku juga sempat setuju dan sempat berharap untuk segera mempersatukan kami. Nampaknya doaku terkabul, pada suatu malam, aku terbaring dengan Arkan yang menindih seluruh anggota tubuhku. Ia menyatukan tubuh kami tanpa bertanya dan aku tidak menolak. Setelah bermandi peluh, Arkan sepertinya sadar jika itu bukan yang pertama bagiku, ia nampak kecewa meski tidak begitu lama.

Sejujurnya aku tidak mencintai Arkan. Aku pun tidak tahu definisi cinta yang kerap dianggungkan semua orang. Ratusan hari yang aku habiskan bersama Arkan itu murni karena kebutuhan. Kami saling membutuhkan. Itu yang kutahu. Arkan selalu memintaku untuk datang ke apartmennya setiap dia mau dan aku pun demikian. Kamu pun sering makan malam bersama karena sama-sama benci makan seorang diri. Perkara nonton di bioskop setiap akhir pekan itu lagi-lagi karena kebutuhan kami berdua akan hiburan. Dan kelak, kalau dia mengajakku menikah, aku pun akan menerimanya karena kau butuh pendamping dan sperma yang baik untuk calon anaknya kelak.

***

Sudah sebulan berlalu. Kali ini, mantan kekasihku serius dengan permintaannya. Tampaknya ia sudah tidak membutuhkanku meski aku masih sedikit membutuhkannya, terutama untuk jadi teman jalan di perkawinan kawan lamaku hari ini.

Di pesta perkawinan, beberapa kenalanku yang juga mengenal Arkan bilang bahwa saat ini pria itu sedang sibuk berkencan dengan rekan di kantornya. Aku lupa siapa nama teman dekat Arkan saat ini. Satu-satunya hal yang kuingat, konon katanya mereka punya banyak kesamaan, dari makanan hingga alergi seafood.

Aku mengingat Arkan lagi. Mengingat detil setiap malam yang kami habiskan berdua. Jauh dari romantis tapi ia selalu ada saat aku memintannya. Sewaktu aku sakit, kelelahan bekerja, ia datang tengah malam hanya untuk memastikan aku makan dan meminum parasetamol. Sewaktu kakiku cidera karena jatuh di tangga kantor, ia yang menjemputku pulang dan membawaku ke dokter. Saat mobilku rusak dan aku harus berangkat juga pulang kerja, ia jugalah yang mengantar dan menjemputku. Selalu Arkan. Walaupun ia selalu dramatis, tapi ia selalu siap sedia melakukan apapun yang aku butuhkan tanpa diminta.

Kali ini aku menangis. Sudah dua bulan berlalu dan baru kali ini aku sadar jika kehilangan bisa terasa sebegini menyakitkannya. Tangisanku berubah menjadi histeris. Aku mengigit bibirku kuat-kuat, mencoba menguatkan diriku sendiri. Semua akan berlalu dan aku pasti baik-baik saja.

***

Sudah lewat enam bulan. Aku belum merelakan pun tidak pernah memintanya kembali. Kubuka jendela kamarku lebar-lebar, gumpalan awan hitam terlihat di langit. Sepertinya sebentar lagi akan hujan deras.

Langit semakin gelap. Kilat-kilat menyambar, suara petir terdengar kencang, disusul suara ketukan di pintu depan. Arkan. Ia datang ke apartemenku sore ini. Aku mengajaknya masuk. Rasanya seperti mimpi. Ia memeluknya erat. Ia membalas. Aku menciumnya ganas, ia membalas. Arkan masih sama. Harumnya, dada bidangnya, bibirnya, semua masih terasa sama. Aku memeluknya erat sekali, takut ia akan terlepas lagi. Ia menguraikan pelukan kami, mengajakku duduk di sofa.

“Aku ke sini untuk memintamu pergi sejauh mungkin. Kamu bisa kuliah lagi di Australia atau Eropa kalau perlu. Semua biayanya akan kutanggung.” Katanya lirih

Aku terdiam. Menjawabnya tanpa kata-kata.

“Ibu sudah menjodohkan aku dengan anak gadis koleganya. Aku tidak bisa menolak, ia tahu hubungan kita dan mengancam akan membuat hidupmu sengsara. Kamu tahu bagaimana kerasnya ibuku, kan? Ia tidak pernah main-main. Aku mencintaimu karena itu kamu kuminta pergi.”

Aku gemetar. “Apa yang salah dariku, Arkan?”

“Kamu bukan istri idaman, tidak punya rahim dan vaginamu buatan. Hanya itu.”

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s