Aku Akan Pulang, Tapi Tidak Sekarang

Kamu boleh percaya, boleh juga tidak, di antara sekian banyak kota yang pernah aku kunjungi di berbagai belahan dunia, aku paling suka Jakarta. Mungkin saat ini kamu sedang mengernyitkan dahimu bingung. Terang saja, Jakarta itu kecil, panas, dan serba macet. Pemandangan yang mungkin bisa dinikmati di Jakarta mungkin hanya matahari senja yang jarang benar-benar terlihat, kecuali kamu ada di atap perkantoran.

Aku tidak masalah dengan macetnya Jakarta, lama-lama aku sudah mulai terbiasa dan kebingungan kalau kota ini tidak macet. Aku juga tidak peduli dengan pemandangan, aku bisa pergi ke luar kota atau ke luar negeri sekalipun. Bukannya uang membuat semua terasa jadi sangat mudah?

Bicara soal Jakarta, kalau kau ingin tahu, aku akan memberimu sebuah penjelasan. Begini, seperti halnya kamu yang punya kota favorit, aku pun. Alasanku menyukai Jakarta cukup sederhana namun bermakna, karena di sini aku menemukan tempat pulang. Kau ingin tahu lebih lanjut? Mari, dengarkan sedikit ceritaku.

Aku tidak tahu di kota mana aku dilahirkan. Kalau menurut akte kelahiran yang isinya fiktif, aku lahir di kota Kediri. Ibu dan ayah angkatku menemukan aku di sana, di dalam kardus mie instan yang diletakkan di depan pertokoan sepi. Singkat cerita, aku diasuh dan dibesarkan dengan baik oleh ibu dan ayah angkatku. Mereka memberikan aku yang terbaik, dari makanan hingga pendidikan. Semuanya untukku, anak (agkat) semata wayang yang mereka doakan lima kali sehari.

Ibu dan ayah angkatku itu meninggal beberapa bulan lalu, kecelakaan pesawat. Mayat mereka tidak kunjung ditemukan. Selepas seratus harian, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari kota paling ramai. Aku tidak sanggup terus-terusan tinggal sendiri di sana dan teringat pada mendiang ibu dan ayah. Dan Jakarta adalah pilihan, aku dengar, kota ini tidak pernah diam, bahkan saat tengah malam sekalipun.

Beberapa minggu pertama, aku benci Jakarta. Di sini semua hal diukur dengan uang, segala hal diperjual-belikan. Lebih-lebih, hidup di Jakarta itu harus serba sendiri, kau tidak boleh percaya pada orang asing, sebab, di kota ini, mencari teman lebih sulit ketimbang mencari uang.

Setelah sebulan tinggal, aku masih membenci Jakarta dan hendak pindah ke kota lain. Namun, di suatu pagi, saat aku hendak membeli sabun mandi, aku bertemu dengan seorang ibu yang mengakui aku sebagai anaknya. Ia mengelus pipiku kemudian memandangiku erat dan berkata “kamu pasti anakku”.

Aku menatap matanya yang sayu, risih. “Maaf, Ibu salah orang.”

Ibu itu menatapku erat, mengguncang-guncangkan bahuku. “Aku tidak mungkin salah. Kamu pasti anakku. Matamu hitam, rambutmu hitam bergelombang, kulitmu kuning, sepertiku.”

Kuperhatikan raut wajahnya baik-baik. Kami jauh berbeda. Ada jutaan orang dengan rambut dan mata berwana hitam. Tapi, entah mengapa, aku membiarkannya memegang tanganku dan tidak membantah perkataannya.

Ibu itu berkata lagi. “Ikutlah ibu pulang. Kali ini saja”.

Aku menggeleng. Bisa saja dia punya niat jahat.

“Tolonglah. Kali ini saja. Kamu boleh pergi kapan pun kamu mau. Sekarang, ikut lah ibu pulang. Anggap saja yang terakhir kalinya. Ya?”

Melihatnya berkaca-kaca, aku mengangguk lemah. Aku bisa pulang nanti sore, pikirku.

Aku diajak berjalan kaki ke rumahnya yang kecil. Sesampainya di sana, dia menyuguhiku aneka kue kering dan buah-buahan yang hampir busuk. Tidak berhenti sampai di situ, ia menyibukkan dirinya di dapur, membuatkan aku makanan dan minuman—yang katanya—kesukaanku, sementara aku sibuk mencari alasan untuk bisa segera pulang.

Aku hendak pulang tanpa pamit, namun sebelum kakiku melangkah di depan pintu, aku mendengar suara panci jatuh yang teramat nyaring. Tidak ada suara lain setelah itu, tangisan, ringkihan, atau pun suara menggerutu.

Wanita itu ditemukan meninggal, diduga karena penyakit jantungnya. Di dapur tempat terakhirnya bernapas itu, ketemukan segelas teh hangat dengan satu iris lemon, persis seperti yang sering ibuku buat di Kediri. Aku menangis, mendadak merasa kehilangan.

Keesokan harinya, saat beliau hendak dimakamkan, tangisku semakin pecah. Sewaktu kabar duka tentang ibu dan ayahku tiba, aku tidak menangis. Selama empat puluh hari pengajian dan pengajian di hari keseratus pun aku tidak menangis. Aku merasa tidak punya alasan untuk menangis. Namun, entah mengapa, melihat wanita yang menyebut dirinya ibu itu dimakamkan hatiku mendadak pilu.

Dia sudah pasti bukan ibu kandungku. Tetangga terdekatnya bilang anaknya melarikan diri dengan seorang laki-laki karena wanita itu menolak merestui hubungan mereka. Wanita itu kemudian menjadi depresi dan memanggil semua gadis dengan rambut hitam panjang bergelombang sebagai anaknya.

Sepetak tanah di sebelah gundukan tanah merah dengan taburan bunga itulah yang kusebut tempat pulang. Ya, aku baru saja memesan kuburanku persis di tempat peristirahatan terakhir wanita malang itu. Sebagai anak yang tidak tahu di mana orang tuanya, aku menjadikan kuburan ibu baruku sebagai tujuan pulang.

Mengingat ia bahagia di penghujung hidupnya karena keberadaanku membuat aku merasa tenang. Mudah-mudahan saja di alam sana ia tersenyum bahagia, sebab ia tidak lagi merasa kehilangan.

Aku mengusap nisannya “Tunggu aku, Bu. Aku pasti pulang, tapi tidak sekarang.”

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s