Ibuku adalah manusia tangguh yang makan dengan keringatnya sendiri. Ia tidak butuh laki-laki untuk menafkainya lahir dan batin. Kata ibuku, perempuan juga bisa terpuaskan tanpa penis. Lagipula, hidup bukan hanya urusan kemaluan saja.
Aku ingat kalau dulu di rumahku pernah ada seorang laki-laki, suami ibuku. Entah namanya Joko atau Joki, aku sungguh lupa. Dia bukan ayahku, hanya seorang pemilik warung kelontong yang merangkap menjadi nelayan, menebar jala pada semua wanita. Ia bisa punya sepuluh warung kelontong dan dua puluh kapal berkat uang ibu. Apapun yang ia minta pasti diberi, tanpa tapi.
Suatu hari –yang juga aku lupakan kapan-, Joko atau Joni itu ketahuan selingkuh dengan anak tukang pijat yang biasa menjemput ibunya di rumahku. Ibuku marah tapi dia diam saja. Keesokan harinya, Joko atau Joni itu ditemukan tewas karena keracunan obat serangga. Tidak ada yang berani mencari tahu mengapa dia mati, yang kutahu, ibu tetap diam, bahkan tidak datang ke pemakamannya.
Ibu itu bukanlah orang yang melahirkan aku. Ia manusia baik hati yang kebetulan menemukan aku di panti asuhan tak jauh dari rumahnya. Ia seorang pemilik pabrik batik terbesar di desaku. Nyonya Mekar, ibuku, mengasuhku dengan baik, sebaik ibu mengasuh anaknya sendiri.
Sejak pertama aku tiba di rumahnya—yang sebentar lagi jadi milikku–, ia selalu memperlakukan aku dengan lembut. Menyuapiku makan, memandikan aku, mengawasiku belajar, hingga menceritakan cerita penuh makna sebelum tidur. Kebiasaan tersebut tetap berlaku hingga saat ini. Ya, aku masih disuapinya meski hanya saat makan malam, ia juga masih memandikan aku sore hari, dan dirinya tetap mendongengkan petuah-petuah sebelum tidur. Kebiasaan itu tetap dilakukan ibu agar kami tetap dekat, menghilangkan jarak yang bisa saja merentangkan kami sejauh mungkin.
Petuah-petuah yang diceritakan ibu biasanya berkisah tentang laki-laki. Betapa ibu membenci laki-laki yang hanya mau enaknya sendiri. Agaknya semua fakta yang ibu ungkapkan ibu benar. Dari semua pengalaman temanku setelah menikah, mereka mengaku bahwa yang memulai dan memandu jalannya malam pertama adalah para suami, yang berhak meminta jugalah mereka.
Bukan hanya soal seks, soal uang juga demikian. Suami yang bekerja tidak pernah dituntut untuk mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Namun, apabila seorang istri turut bekerja, entah menjadi buruh tani atau penumbuk padi, mereka tetap wajib mengasuh anak dan mengurus rumah.
Sore ini aku sedang duduk di beranda, menunggu ibu pulang dari pabrik. Aku sebenarnya ingin mandi sendiri, tapi aku takut ibu marah. Tak lama, ia datang membawa bungkusan panjang berlapis koran, entah apa. Ia menyuruhku masuk, menanggalkan pakaianku, dan membantunya melepaskan baju. Lalu, perlahan, ia membuka bungkusan yang dibawanya tadi. Aku meringis, kesakitan, dan kulihat banyak darah menggenang di lantai rumah kami yang berwarna putih. Tak lama, dua penis jatuh ke lantai. Kami bukan lagi laki-laki.
Suka!
LikeLike