“Apa yang kau mau dariku?”
“Hanya kamu dan ketulusan cintamu.”
“Aku mau menikah denganmu.”
Sebelum menikah, aku pernah bertanya pada seorang pria tentang apa yang dirinya inginkan dariku. Pria yang sekarang jadi suamiku itu lalu menjawab dengan lembut bahwa ia hanya menginginkan diriku dan cintaku, tanpa embel-embel lainnya. Aku yang tengah jatuh cinta padanya menjadi bahagia tidak terkira, menganggap ucapannya terlalu romantis dan mendadak lupa bahwa pada suatu masa kebahagiaanku akan berakhir. Selang beberapa lama kemudian, benar saja, kebahagiaanku lenyap.
Suamiku tidak selingkuh, ia tetap setia, seperti saat kami masih berpacaran. Suamiku baik dan perhatian. Ia memastikan bahwa aku makan enak setiap hari, ia juga memberikan aku cukup uang untuk membeli apapun yang kuinginkan, ia bahkan menyediakan aku seorang ART agar aku tidak letih mengurus rumah. Suamiku sangat bertanggung jawab atas kebutuhanku.
Aku seharusnya bahagia dengan segala kebaikannya. Aku seharunya semakin mencintainya karena perhatiannya. Aku seharusnya bersyukur. Aku seharusnya berterima kasih. Tapi, ternyata yang seharusnya memang tidak selalu terjadi.
Ada sesuatu hal yang terlambat aku tahu –dan baru beberapa waktu belakangan ini aku mengerti. Di saat pria itu memintaku dan ketulusan cintaku, ia memintaku mengabdi padanya. Suamiku memintaku menjadi abdi-nya, orang yang menuhankan dirinya atas segala hal. Pria yang kunikahi itu adalah tolok ukur atas sesuatu yang benar atau salah. Ucapannya adalah perintah dan larangannya adalah sebuah kewajiban yang harus dipatuhi.
Aku dilarangnya untuk pergi keluar tanpa izinya, meski hanya mengunjungi orangtuaku. Aku tidak diperbolehkan pergi ke tempat yang dekat dengan teman-temanku, meski itu hanya berjarak beberapa pintu. Aku tidak diperbolehkannya menggunakan KB, meskipun aku belum siap untuk hamil. Suamiku yang sekarang berkuasa atasku mulai gemar menghukumku.
Hukuman pertama yang aku terima adalah tamparan di pipi kanan. Tamparannya tidak begitu sakit, pipiku hanya merah sedikit, tapi hatiku remuk. Aku memutuskan untuk tidak berbicara dengannya, aku bahkan malas melihat wajahnya. Seakan paham bahwa ia keterlaluan, suamiku mendekatiku, ia meminta maaf atas apa yang dilakukannya.
Tidak hanya satu kali. Hukuman demi hukuman aku terima, kali ini tanpa maaf setelahnya. Suamiku tidak akan peduli kalau aku merajuk atau mengancam tidak mau makan, ia akan mendiamkan aku, sebab menurutnya aku memang pantas diganjar kekerasan. Aku masih menerima tamparan di pipi kanan yang tidak seberapa sakit itu menjadi hukuman, perilaku kasarnya kudiamkan.Aku tidak ingin ia mengadu pada keluargaku bahwa aku seorang istri yang membangkang terhadap suaminya. Aku tidak ingin ibuku dipermalukan dan sakit jantung karenanya.
Aku mengelus pipi kananku lagi. Entah ini sudah kali keberapa ia memberikan hukuman padaku. Pagi ini, sewaktu aku masuk ke kamar kamu, aku melihat suamiku baru akan mengenakan dasi. Pria itu memanggilki dan aku bilang padanya bahwa aku ingin ke kamar mandi sebentar. Ia lantas menarik rambutku, menyebut bahwa aku wanita yang membangkang terhadap suaminya dan haram akan neraka. Ia tidak peduli bahwa aku telah menjelaskan puluhan kali bahwa aku ingin buang air. Ia menamparku keras, kemudian pergi bekerja. Ia tidak peduli bahwa aku menangis untuk pertama kalinya.
Siang hari, Dodi, teman laki-lakiku datang berkunjung. Ia ingin menyerahkan undangan pernikahannya dengan sahabatku secara langsung. Aku menyambutnya dengan antusias, satu kabar baik sedikit menghapus kebas di pipi kananku. Suamiku tidak pernah pulang makan siang, aku pun aman menerima temanku.
Sepulang dari kantor, suamiku bersikap seperti biasa, ia makan dengan lahap masakanku. Setelah makananku habis, ia menyuruhku mandi. Aku yang telah berbulan-bulan tinggal bersamanya paham bahwa itu adalah tanda bahwa ia memintaku melayaninya di ranjang. Aku mengangguk, bergegas mandi.
Saat aku mandi, aku menemukan seorang pria memelukku di bawah pancuran air. Pria itu menggerayangiku dari belakang, dan dari rabaannya aku tahu bahwa ia bukan suamiku. Aku berteriak, suamiku masuk ke kamar mandi dengan pakaian lengkap dan kamera di tangannya. Ia tertawa. Merekam tangisanku dan remasan pria bajingan itu pada payudaraku.
Aku tidak ingat bagaimana pria itu meniduriku karena aku sibuk menangis. Satu-satunya hal yang aku ingat adalah suamiku yang menjijikkan itu menyebutku sundal. Ia bilang bahwa Tuhan telah mengharamkan surga dariku bahkan sebelum ia repot melakukan ini.
“Kalau kau berani menceraikan aku, kau akan menemukan orangtuamu mati bunuh diri karena fotomu. Lalu tak lama, kakak laki-lakimu akan membunuhmu, mungkin juga ikut menjualmu seperti aku. Tidak usah menangis, Mar. Bahkan sebelum ini kau tidak akan pernah masuk surga. Tuhan telah mengharamkan surga untuk istri yang membangkang suaminya. Tuhan mengharamkan surga atas istri yang menggoda laki-laki saat suaminya bekerja. Tuhan mengharamkan surga atas pezinah. Tuhan mengharamkan surga atasmu.”