Hanum Malang yang Jauh dari Rumah

Kata ayah, jangan mudah percaya kepada orang lain, sebab terkadang serigala bisa saja terlihat seperti domba.”

Aku tidak pernah suka jauh dari rumah. Bangun pagi tanpa teriakan ibu atau pergi tanpa ditemaninya bukanlah hal yang menyenangkan. Lebih-lebih kalau aku perlu menyiapkan segala sesuatunya sendiri setiap pagi, entah handuk, baju, sepatu, sarapan, atau botol minum. Aku tidak ingin kuliah di kampus ternama. Aku tidak ingin hidup sendiri di kamar yang tidak lebih lebar daripada tempat penyimpanan padi mendiang ayah. Aku tidak ingin hidup di Depok, kota yang panasnya mampu membakar kulitku.

Ibu sudah kubujuk ratusan kali agar membolehkanku menunda kuliah dengan berdalih bahwa bukan itu jurusan yang kumau. Sayang, ia sepertinya tahu bahwa aku ucapanku tidak sepenuhnya jujur dan memaksaku untuk tetap pergi. Wanita paruh baya itu melepasku di bandara tanpa air mata dan aku hanya bisa menyumpah dalam hati tanpa berkata apa-apa.

Ibu adalah salah satu alumnus kampusku. Oleh karena rasa bangga terhadap almamaternya yang berlebihan, ia memintaku untuk memilih kampus –yang sama dengannya- sebagai pilihan pertama. Aku menyanggupinya karena aku merasa tidak akan mungkin diterima, sebab passing grade-nya cukup tinggi. Di hari pengumuman, aku sadar bahwa perkiraanku salah. Di hari itu pula aku sadar bahwa berjanji atau menyanggupi sesuatu adalah hal yang berat.

***

Serangkaian ospek sudah kulewati selama sebulan terakhir. Aku tidak lagi merasa kesepian, melainkan tersiksa. Bagaimana tidak, kesialan demi kesialan terus menimpaku. Depok terasa seperti kota keramat yang menghadirkan berbagai hal buruk. Kemarin lusa aku kehujanan karena lupa membawa payung, kemarin sore sepatuku hilang di beranda indekos, dan hari ini ponselku tiba-tiba raib dari kantong.

Aku tidak punya cukup uang untuk membeli ponsel baru dan ibuku sedang menunaikan ibadah haji. Tidak ada satu orang pun yang mampu menolongku dari kesedihan tidak berujung ini. Aku akan hidup tanpa ponsel sampai Ibu kembali dan menyadari bahwa anak tunggalnya tidak bisa dihubungi.

Tidak ada ponsel berarti tidak ada lagu setiap pagi. Aku tidak lagi bisa pura-pura tuli dan tidak acuh pada lingkungan. Pagi ini, aku berjalan mengamati apa saja yang ada karena tidak tahu harus berbuat apa. Aku melihat bahwa di dekat indekosku ada tukang nasi padang, makanan kegemaraku. Tidak hanya matahari atau nasi padang, aku juga melihat bangkai tikus di jalan dan seorang pria tampan.

Pria itu mengenakan kemeja biru muda dan celana khakis cokelat. Ia tampak terburu-buru dan berjalan dengan cepat. Aku hanya bisa menatap punggungnya sembari berdoa agar ia tak jatuh tersandung tali sepatunya.

Saat pulang kuliah, aku melihatnya duduk di halte Teknik. Ia sibuk menekan-nekan ponselnya kemudian melihat arah datangnya bus. Sebenarnya aku tidak perlu singgah di halte dan berpura-pura menunggu bus karena indekosku hanya berjarak beberapa ratus meter juga berlawanan arah. Akan tetapi, entah mengapa, aku memutuskan untuk duduk tidak jauh darinya dan ikut menunggu.

Namanya Haryo. Teman-temannya yang berlalu lalang melintasi jalan memanggil pria itu demikian. Haryo sepertinya mahasiswa Fakultas Hukum (FH), sebab makara jaket kuning yang dipegangnya berwarna merah. Tali sepatu yang kulihat tidak terikat tadi pagi sudah terikat rapi.

Haryo sesekali menatap jam tangannya dan terus mengamati arah datangnya bus. Sudah sepuluh menit dan bus belum juga tiba. Ia terlihat resah kemudian bangkit, menatapku sekilas, dan berjalan ke arah pangkalan ojek.

Setelah memastikannya pergi, aku pun bangkit, bergegas pulang. Hujan turun dengan deras tepat saat aku mengunci kamarku. Depok hujan tanpa mendung dan aku tidak basah kuyup meski tidak bawa payung.

***

Pria itu bukan mahasiswa FH. Ia alumnus yang sedang menunggu ijazah. Teman indekosku mengenalnya, mereka saudara. Jaket kuning yang dibawanya kemarin sore adalah milik teman indekosku yang merupakan sepupunya. Dan berkat jaket itu, aku berbicara dengan Haryo. Aku gemetaran saat pria itu ada di beranda dan bertanya apakah dirinya boleh menitipkan sesuatu -alias jaket kuning bermakara merah- untuk Nadira, sepupunya yang tinggal di indekos ini. Setelah aku membolehkan, ia menanyakan namaku dan nomor kamarku, kemudian berlalu pergi tanpa lupa mengucap terima kasih.

Aku tidak bertemu Haryo selama seminggu terakhir. Pria itu hilang dari jalan tempatku melihatnya. Aku juga tidak menemukannya di halte tempatnya menunggu bus. Ia lenyap ditelan bumi dan aku tidak ambil pusing. Lagipula, sekarang aku tidak perlu menyibukkan diri untuk mengamati apapun agar tidak bosan, sebab aku sudah membeli ponsel baru.

Dua minggu berlalu dan aku tidak kunjung bertemu Haryo. Aku bahkan lupa bagaimana wajahnya yang sempat kubilang tampan. Aku lupa bagaimana ia tersenyum atau apa merk sepatu yang dikenakannya terakhir kali. Tidak ada lagi khayalan tentang Haryo yang bisa membuatku panas dingin.

Awal bulan Oktober, aku melihat Haryo duduk sendirian di luar kafe, Taman Lingkar, bersama satu gelas plastik berisi latte. Aku berada di dalam kafe, di depan kaca lebar yang persis menghadapnya. Dalam kurun waktu lima menit, aku melihat ponselnya nyaris terus bergetar tanpa jeda. Ia hanya melirik sekilas kemudian menghisap rokoknya lebih dalam. Aku melihatnya menghembuskan asap dengan lepas, seakan-akan gundahnya hilang bersama asap rokoknya.

Haryo terlihat resah. Ia tidak peduli dengan orang sekitar dan tidak menyadari bahwa aku tidak pernah berhenti mengamatinya. Rokoknya sudah habis. Ia membiarkan kotak kosong rokoknya tergeletak di sebelahnya, kemudian merogoh kantong kiri celananya, mengeluarkan satu kotak rokok baru.

Pria itu menyulut rokoknya lagi. Selang beberapa detik kemudian, hujan turun dengan deras. Ia tetap duduk di tempatnya, membiarkan badan dan jiwanya basah. Badannya berguncang, ia sesekali mengerjapkan matanya. Hujan menyamarkan tangisannya. Hujan telah menyelamatkan harga dirinya sebagai laki-laki.

Hujan semakin lebat, dahan-dahan pohon bergemuruh tertiup angin. Aku melihat bibirnya bergemeletuk dan memucat. Tiba-tiba, ia bangkit berdiri, memungkuti sampah dan ponselnya yang basah dan berlalu pergi. Ia melewati tempatku dan menatapku tajam, tepat di manik mata. Aku hanya terdiam, membiarkannya pergi membawa sejuta pertanyaan yang belum sempat kuutarakan.

***

Malam hari, sepulangnya aku dari kafe perpus, aku melihat Haryo di ruang tamu indekosku. Ia duduk sendiri, tanpa Nadira. Haryo bangkit saat melihatku dan mengajakku keluar, duduk di beranda. Aku menurutinya dan berjalan di belakangnya.

“Masih ingat aku, Hanum?” Tanyanya, mengawali percakapan kami.

“Tentu. Namamu Haryo, sepupu Nadira. Kamu cari Nadira, ya? Aku bisa panggilkan kalau mau.” Aku berbasa-basi, mencoba mencairkan kecangungan di antara kami.

Ia tersenyum tipis dan aku menyadari betapa bodohnya aku mengawali pembicaraan. “Tidak. Aku cari kamu.” Jawabnya singkat.

Aku terdiam, mengamatinya, tidak menjawab apa-apa.

Haryo menarik napasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. “Aku melihatmu di perpus dan aku tahu kamu mengamatiku cukup lama. Aku hanya minta agar kamu tidak bilang ke Nadira. Aku tidak ingin ia merasa terbebani karena ia satu-satunya kerabatku di Depok.”

Aku menepuk pundaknya pelan, menenangkan. “Aku tidak akan bilang ke Nadira atau orang lain.”

“Terima kasih. Kamu sudah makan?”

“Ya, kebetulan aku sudah makan.” Balasku setengah berbohong, Aku belum makan, tetapi sudah membeli makan malam dan menyimpannya di dalam tas.

Ia tersenyum lagi. “Baiklah, aku permisi. Sampai jumpa, Hanum.”

“Dah, Haryo!” ucapku sembari mengantarnya ke pagar.

***

Depok terlihat cerah pagi ini. Matahari terlihat terik dan bersinar dari balik kaca jendela. Aku terbangun dan bergegas mandi karena mengira sudah pukul sepuluh. Akan tetapi, matahari itu mengecohku, sekarang baru pukul delapan. Oleh karena sudah terlanjur siap, aku memutuskan untuk berangkat lebih pagi.

“Num, udah mau kuliah, ya?” Tanya Nadira, sewaktu aku hendak beranjak dan ia sedang duduk di beranda.

“Enggak, sih. Kuliahnya jam sebelas. Mau jalan pagian aja, biar sempet sarapan. Kenapa, Nad?”

Ia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, memintaku duduk. “Kemarin aku lihat kamu ngobrol sama Mas Haryo. Kalian dekat, ya?”

Aku memutar otakku, mencari kebohongan apa yang harus kuutarakan agar Nadira percaya dan aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. “Nggak juga. Dia cuma mampir.”

“Kalau kamu memang dekat dengannya juga nggak apa-ada, Num. Aku malah senang. Mas Haryo sedang butuh teman, ibunya meninggal beberapa bulan lalu, sakit. Dan sekarang, belum genap seratus hari, Pakdeku, bapaknya Mas Haryo, sudah bilang kalau dia mau menikah lagi dengan sahabatnya. Mas Haryo merasa kecewa, Num. Dia tertekan kenapa ayahnya seakan cepat sekali melupakan ibunya.”

Aku hanya diam dan mendengarkan, bingung akan reaksi apa yang perlu kuberikan.

Nadira menggengam tanganku. “Maaf kalau aku membebanimu. Mas Haryo tidak pernah cerita kepada siapapun, bahkan padaku, dia orang yang cukup tertutup. Anehnya, dia mau cerita padamu. Entah apa yang dia ceritakan semalam. Aku hanya sempat mendengar kalau ia memintamu untuk tidak bilang apapun padaku. Maaf kalau aku menguping, aku masuk lewat pintu belakang dan duduk di ruang tamu saat kalian duduk di beranda. Aku tahu ada Mas Haryo dari motornya yang terparkir di garasi. Aku juga tahu kalau ia tidak mencariku karena ia sama sekali tidak menghubungiku. Kamu tidak perlu cerita apapun, Num. Aku bercerita agar kamu berkenan untuk menerima cerita Mas Haryo sementara waktu, sampai masalah keluarganya selesai. Sekali lagi, maaf kalau aku merepotkanmu. Aku benar-benar minta tolong.”

Aku tersenyum, menatap Nadira sungguh-sungguh. “Ya, tentu aku akan mendengarkan Haryo cerita setiap kali dia mau. Sekaligus latihan menjadi pendengar yang baik. Eh, Nad, aku harus pergi sekarang. Ada kelas.”

“Yah, kamu nggak sempet sarapan karena aku kelamaan ceritanya. Makasih, ya, Num. Selamat kuliah.”

“Dah, Nad!” teriakku dari pagar kemudian berlari, mencari tukang ojek terdekat.

***

Sejak pertemuan kami di perpus dan malam setelahnya, aku dan Haryo menjadi dekat. Pria itu semakin sering mampir ke indekosku untuk bertemu Nadira atau sekadar berbincang denganku. Ia juga menjadi lebih tampan setiap harinya. Aku terus menyukainya dan memasrahkan hatiku di tangannya.

Beberapa minggu kemudian, Haryo menyatakan sukanya kepadaku. Ia bertanya apakah aku bersedia menjadi kekasihnya. Meski sedikit janggal dan terasa begitu cepat, aku mengiyakannya dengan bahagia. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayang hanya karena gengsiku.

Haryo tidak pernah melarangku untuk melakukan kegiatan apapun. Ia juga tidak pernah kasar dan selalu perhatian. Ia bahkan menyuruhku untuk terus menanyakan kabar ibuku di kampung dan memintaku untuk terus memperhatikan ibuku, agar beliau tidak merasa kesepian.

Hari ini, Haryo mengajakku mengelilingi kampus dengan sepeda. Kami akan melalui seluruh fakultas, perpustakaan, fasilitas kampus, dan berbergai hal lain yang bisa dilewati. Aku melewati beberapa danau yang punya nama beragam. Sayang, Haryo tidak hapal satu nama danau pun. Ia hanya bilang bahwa danau tersebut punya nama yang berbeda-beda.

Tidak hanya melihat danau dan keliling kampus. Ia juga mengajakku pergi ke mal dan minta ditemani tiga film di bioskop. Aku mengiyakannya, ia lalu tersenyum manis, sampai aku gemas dibuatnya. Selama menonton, ia tidak berhenti menggengam tanganku dan menciumi pipiku berkali-kali. Untung saja bioskopnya gelap, sebab pipiku pasti sudah semerah tomat rebus.

Waktu menunjukan pukul sebelas malam saat kami selesai menonton. Aku panik karena tidak bisa pulang ke indekosku. Salah satu butir peraturan di indekos menyebutkan bahwa pintu pagar akan dikunci mulai pukul 23:00—05.00. Seakan memahami kebingunganku, pria itu menawarkan tempatnya sebagai tempat tempat bermalam. Aku menolaknya dan ia meyakinkanku. Ia berjanji bahwa kami tidak akan melakukan apa-apa.

Penolakanku tidak sebanding dengan bujukannya. Ia berhasil meyakinkan aku bahwa bermalam di apartemennya tidak membawa kerugian apapun buatku. Sewaktu kami tiba di kamarnya, ia segera menyusun tempat tidur dan memindahkan selimut serta satu bantal ke lantai, tempatnya tidur malam ini.

Haryo meminjamkanku handuk dan satu piyama agar aku bisa bersih-bersih dan tidur dengan nyaman. Setelah aku mandi, pria itu hilang dari kamar, entah ke mana. Akan tetapi, aku menemukan secangkir besar susu cokelat panas dengan kertas kecil yang tertempel di gelasnya. Kertas kecil merah muda itu berisi pesan bahwa susu itu untukku dan ia sedang pergi, membeli rokok.

Bibirku tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Aku merasa menemukan orang yang tepat. Haryo seperti rumah yang nyaman dan selalu ingin kutempati. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak butuh ibu dan tidak ingin cepat-cepat pulang.

Susu hangat itu terasa enak dan manis. Perut kenyang dan badan yang lelah diajak jalan seharian membuatku cepat mengantuk. Haryo belum juga kembali dan aku tidak peduli. Aku akan tidur tanpa menunggunya.

***

Aku terbangun dengan nyeri pada kepala dan pangkal paha. Haryo tidak nampak di mana-mana, padahal aku ingin memintanya untuk mengambilkanku minum. Selang beberapa saat, nyeri itu menjalar sampai ke hati. Aku telah dinodai oleh bajingan yang mengaku cinta padaku itu.

Pesan mendiang ayah mulai terngiang-ngiang. Kata ayah, aku tidak boleh mudah percaya kepada orang asing, sebab bisa saja serigala terlihat seperti domba. Ya, Haryo adalah serigala yang menjelma menjadi domba, persis seperti kata ayah.

Menangis sejadi-jadinya dan mengatai diri sendiri adalah hal yang bisa kulakukan. Aku menyesal karena amat bodoh. Terbayang pula pesan ibu yang mengatakan bahwa aku perlu pandai memilih teman, menjaga diri, dan tidak boleh menginap di tempat orang asing. Terbayang juga sawah yang dijual ibu untuk membiayai kuliahku dan doa-doa yang dipanjatkannya untukku.

Kubiarkan air mataku jatuh semaunya. Penyesalan kutelan bulat-bulat. Aku bangkit dan mengganti pakaianku. Semoga saja aku tidak hamil. Aku tidak ingin mengacaukan masa depanku lebih dari ini. Di bawah tumpukan baju yang kukenakan semalam, aku melihat secarik kertas dengan namaku di atasnya.

*******

Untuk Hanum Malang yang Jauh dari Rumah,

 

Aku tidak pernah menyukaimu tapi aku juga tidak pernah membencimu. Atas apa yang telah aku lakukan padamu, aku minta maaf. Aku melakukannya karena terpaksa. Nadira mungkin telah memberitahumu perihal ayahku yang akan menikah lagi. Akan tetapi, kamu pasti belum tahu siapa yang akan dinikahi ayahku, si sundal yang tidak lain adalah ibumu.

Kamu berhak kaget. Sebab, aku pun demikian. Aku bahkan tidak menyangka jika aku pernah bertemu anak sundal itu sebelum ayahku. Aku benci ibumu dan karenanya aku memanggilnya sundal. Sundal adalah wanita penggoda yang membuat ayah meninggalkan ibu di saat-saat terakhirnya. Bahkan ayahku berniat menikahi sundal selang beberapa minggu kematian ibu. Aku rasa sundal itu sungguh hebat dalam menggoda laki-laki.

Aku perlu menidurimu sampai hamil. Dengan cara begitu, mereka tidak akan pernah menikah. Namun, aku tidak tega menghamilimu. Aku hanya menidurimu karena kamu memang sangat menggairahkan. Kamu boleh bilang ini kepada si sundal, Nadira, atau siapapun, aku tidak masalah. Aku akan bilang bahwa kita melakukannya suka sama suka, tanpa satu paksaan pun.

Potretmu tanpa baju ada di ponselku. Kau cukup melarang sundal itu menikah dengan ayahku untuk membuatku tidak menyebarkan potret itu. Kalau ancamanku tidak cukup menakutimu dan ayahku tetap menikah dengan si sundal, maka aku pastikan bahwa aku akan menidurimu lebih sering, sampai kau hamil.

Aku akan melakukan apapun agar ayah tidak menikah lagi. Aku akan melakukan apapun untuk membuat ibu tenang di surga. Aku akan melakukan apapun agar tidak perlu menjadikan si sundal sebagai ibu pengganti.

Sampai jumpa di kampung halamanmu, Hanum. Ayah dan aku berencana mengunjungimu dan berkenalan pada akhir tahun ini. Segeralah siapkan sejuta topeng dan ribuan skenario untuk menyambut kami. Ingat, kamu boleh bilang siapapun tentang ini, tapi kamu yang akan rugi. Tidak ada yang percaya dan tidak ada yang mau menikah dengan perempuan tidak perawan. Kamu akan jadi sampah kalau kamu membuka ceritamu sendiri.

H.

6 thoughts on “Hanum Malang yang Jauh dari Rumah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s