Ibu yang Lupa Siapa Ayahku

Yarra, semoga doa ibu untukmu selalu terkabul. Semoga kamu hidup lebih lama dari ibu.”

Ibu saya tinggal di luar negeri. Ia tak pernah mau kembali ke negara tempatnya lahir, entah apa alasannya. Ibuku memilih menetap di negara ayah, Belanda. Kata ayah, mungkin kulit ibu yang putih tidak sanggup bertahan di panasnya kota kelahirannya, Jakarta.

Awalnya aku dilarang pergi tugas ke Jakarta selama setahun. Akan tetapi, setelah aku jelaskan bagaimana posisiku nanti akan menguntungkan dan aku hanya pergi sementara waktu, ibu dengan berat hati melepas kepergianku. Ayahku tidak keberatan, ia hanya memberikan petuah bagaimana aku harus rutin mengonsumsi vitamin dan tak lupa meneleponnya tiap malam. Di pertengahan Desember, aku melepas Belanda dengan gigil yang teramat sangat. Aku akan pergi ke kota yang tertera di kartu pengenalku, tempat kelahiranku.

Penerbangan belasan jam bukan hal yang aku senangi. Kepalaku cukup pusing dan mual mulai terasa di pangkal tenggorokanku. Beruntung, proses imigrasi tidak terlalu susah dan aku juga tidak membawa terlalu banyak barang. Sembari menunggu penjemputku dari kantor, aku memutuskan untuk merokok sambil menikmati kopiku.

Penjemputku datang beberapa saat setelah Asian Dolce Latte-ku siap, ya, mungkin sekitar lima menit. Penjemputku seorang pria bermata hitam dengan kulit sawo matang. Kalau tidak salah, namanya Reza. Penjemputku itu tidak memaksaku untuk langsung pergi, sepertinya ia tahu betapa mualnya aku saat ini. Ia menawarkan aku rokoknya karena milikku sepertinya tertinggal di toilet Changi sewaktu transit.

Reza memesan kopi yang sama kemudian kami berbincang tentang Jakarta dan Belanda. Pria itu bukan supir atau penjemput biasa, ia adalah salah satu petinggi perusahaan kami di wilayah Asia.

“Ayahmu orang bule, beneran orang bule, Ra?” Reza bertanya, memastikan.

Aku tertawa. Ini bukan pertama kalinya orang-orang meragukan ayahku, bahkan, dulu aku juga sempat meragukannya. “Ya. Ayahku orang Belanda dan Ibu orang sunda yang lahir dan besar di Jakarta. Aku nggak mirip orang Tionghoa atau Belanda, ya? Kata ibu sih aku mirip sekali sama kakekku dari pihak ibu. Sedikit jawa.”

“Kamu lancar banget bahasa Indonesianya. Sering pulang, ya?”

“Aku di Jakarta cuma numpang lahir kayaknya. Ini pertama kalinya aku datang ke Jakarta lagi setelah dua puluh lima tahun yang lalu. Di rumah aku ngomongnya pakai bahasa Indonesia. Ibu dulu anak sastra Indonesia yang sampai sekarang masih cinta mati sama bahasa Indonesia. Sepupuku yang tinggal di Indonesia juga selalu ngajarin aku cara pakai bahasa gaul.”

“Oohhh. Yuk, aku antar ke tempat tinggalmu. Besok pagi aku jemput, ya? Aku kenalin sama kota kelahiranmu.”

***

Aku tidak perlu waktu lama untuk jatuh cinta pada Reza. Pria dengan lengan paling kokoh yang selalu mengajakku bercinta tiga bulan belakangan ini. Pria yang selalu pulang lebih awal dan menyiapkan mawar dalam bath tube agar kami bisa mandi berdua kemudian berpeluh bahagia lalu tertidur lelap. Pria yang memastikan aku sarapan nasi uduk dengan ayam goreng dan telur dadar. Pria yang mengajariku cara untuk memasak nasi di rice cooker. Pria yang menanam benihnya dan menjadikan aku calon ibu.

Di awal Mei, Reza dan aku tahu bahwa kami akan menjadi calon orangtua. Aku telat datang bulan dan merasa lemas meski tanpa mual-mual. Reza tertawa sumringah, menurut perkiraan dokter, bayi kami akan lahir di bulan Januari, bulan kelahirannya. Ia bahagia mendapat bayi di usia tiga puluh.

Aku belum bilang pada kedua orangtuaku, sebab aku rasa mereka belum saatnya tahu. Mungkin nanti, setelah aku siap dengan pilihanku sendiri; mengugurkan janinku demi karier yang lebih cemerlang atau merawatnya seorang diri. Reza tidak berubah. Ia tetap sama. Aku bahkan merasa bahwa ia lebih perhatian akhir-akhir ini.

Ia selalu memastikan bahwa aku mendapat cukup buah, sayur, lauk, nasi, susu, dan segala macam hal yang ia siapkan di lemari pendingin.

Reza melamarku di bulan Juni dan aku menerimanya. Aku menerimanya bukan karena aku butuh ayah untuk bayiku, melainkan karena aku mencintainya dan merasa dicintai olehnya. Aku menelpon kedua orangtuaku dan mengatakan bahwa aku hamil dan memutuskan untuk menikah dengan Reza. Ayah dan ibuku sempat marah, mereka kecewa karena aku tidak segera menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi, mereka menerimanya. Seks dan kehamilan bukanlah hal yang salah. Sebab mereka tahu bahwa aku melakukannya dengan sadar.

Di pertengahan Juli, ayah dan ibuku sampai di Jakarta dan duduk manis di rumah sementaraku. Hari minggu ini, kedua orangtua Reza –yang katanya tidak sabar melamarku- akan bertemu dengan kedua orangtuaku. Tidak ada yang keberatan dari pihak kami. Aku sering berkunjung ke rumah Reza dan diberikan ibunya jamu-jamuan juga beraneka buah-buahan yang ditanam ayahnya. Reza pun sudah bertemu dengan ayah dan ibuku, mereka tampak senang dengan Reza, calon suamiku.

***

Di malam pertemuan itu, saat ibuku beradu pandang dengan ayah Reza, ia terdiam seribu bahasa. Ia berteriak dengan lantang bahwa sampai ia mati, ia tidak akan merestui hubunganku dan Reza. Ayah Reza tampaknya paham dan menarik istri dan anaknya pulang.

Ibu kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia menangis sampai napasnya tersengal-sengal. Ia menatap perutku dan meminta maaf pada Tuhan berkali-kali. Ia berulang kali bilang bahwa ia menyesali sumpahnya sendiri. Ibu kemudian masuk kamar, menguncinya, dan tak membuka pintu sampai esok hari. Saat ayah mendobrak pintu, ayah menemukan sepucuk surat di atas meja dan mendengar suara air mengucur dari kamar mandi.

***

      Pria yang kau kenal sebagai ayah Reza adalah ayah kandungmu. Ibu bahkan bisa melihat rautnya yang serupa denganmu. Pria bajingan itu senior ibu di kampus yang memerkosa ibu di kamar mandi. Ia laki-laki bajingan yang membuat ibu benci pada kota ini. Sebelum ibu pergi ke Belanda, ibu pernah bersumpah dan berdoa agar anak cucunya mengalami nasib yang menyedihkan. Ibu berdoa agar keluarganya diberi kesialan yang tiada ampun. Tampaknya Tuhan mengabulkan doa ibu, Yarra. Ibu menyesal, ibu lupa bahwa kau juga punya darah bajingan itu. Ibu minta maaf dan memilih mati ketimbang menyaksikan kesialanmu dan Reza lebih jauh.

Ibu.

 

3 thoughts on “Ibu yang Lupa Siapa Ayahku

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s