JASMIJN: Sepotong Cerita

Aku sebenarnya tidak suka dengan ketidakteraturan, melihat kamarku berantakan saja kepalaku sakit bukan kepalang. Lebih-lebih kalau dapurku acak-acakan, seperti saat ini. Aku bahkan tidak bisa membilas cangkir kopi kami sebab di bak cuci piring, terdapat tumpukan besar piring makan, gelas, alat makan, dan steelpan.

Kupijat pelipisku sebentar kemudian menahan geram dan tertawa setelahnya. Gadis itu lucu. Ia tahu kalau dirinya tidak bisa masak, namun ia bersikeras untuk memasak makanan kami. Katanya, ia ingin membuatkan aku makan malam meski satu kali, seperti apa yang dilakukan seorang kekasih di berbagai film picisan yang ditontonnya. Melati juga bilang bahwa gegrilde zalm met groenten cukup mudah untuk dicoba. Ya, meskipun salmon di piringku terlalu matang dan terasa sedikit pahit, aku bisa melihat pipinya bersemu merah. Entah karena masakannya dihargai atau karena terlalu banyak minum wine untuk menetralisir pahit ikannya sendiri.

Setelah dapur bersih dan kopi sudah diseduh, aku memandangi seisi rumahku. Ia ternyata tidak hanya menghancurkan susunan dapurku, tapi juga seisi rumahku. Anggap saja meja makan yang berantakan adalah hal yang wajar karena kami tidak sempat membereskannya setelah sibuk menciumi tubuh masing-masing. Kamar dan kamar mandi yang berantakan juga masih bisa dimaklumi sebab semalam kami bercinta tiga kali, dua kali di kamar dan satu kali di kamar mandi. Ruang tamu dan halaman belakang juga ikut-ikut berantakan meski ia tidak terlalu lama menghabiskan waktu di tempat itu.

Kuhela napas panjang kemudian memunguti satu demi satu barang-barang yang berserakan di karpet ruang tamu. Cardigan abu-abu yang ia kenakan saat belanja kemarin tersampir di lengan sofa, empat novel picisan miliknya kutemukan di bawah kolong meja, dua buku kuliahnya yang super tebal ada di lantai dekat jendela, dan kutemukan remah-remahan biskuit cokelat di dekat tempat kedua buku itu berada.

Agaknya omongan bahwa cinta bisa membuatmu buta itu benar. Ia selalu membuat rumahku berantakan dan menyebabkan kepalaku sakit bukan kepalang. Akan tetapi, aku tidak keberatan membiarkannya melakukan hal itu. Aku tidak keberatan kalau ia mau memutar balik sofa agar ia bisa duduk di lantai dingin setiap kali membaca buku. Aku juga tidak keberatan saat ia menyusun sabun beraneka wangi buah di ujung atas badkuip. Aku tidak akan keberatan selama itu membuatnya nyaman untuk tetap berada di sisiku.

Ada lengan yang memelukku erat saat aku membereskan botol-botol sabun di lantai kamar mandi.

Masih dengan pelukan yang belum ditanggalkannya, ia berkata “Cakra, ik wil kaas brood”.

Aku tersenyum. Tanpa perlu diminta, setangkup roti keju sudah tersedia di meja makan lengkap dengan teh susu kesukaannya. “Sudah aku siapkan di meja. Ayo sarapan.”

Ia mempererat pelukannya. “Cepat keluar kalau begitu. Aku mau sikat gigi dan bilas-bilas.”

Setelah sepuluh menit, gadis itu sudah duduk di ruang makan dan menguyah rotinya dengan semangat. Aku memandangi matanya hitamnya lekat-lekat dan meyakinkan diriku sendiri.

“Mel.” Panggilku, masih meyakinkan diriku sendiri.

Gadis itu tidak menaruh rotinya tetapi menatapku lekat tanpa suara.

“Kau tahu aku tidak suka rumah yang berantakan, kan? Tapi akhir-akhir ini rumahku berantakan sekali. Aku sampai pusing dibuatnya…”

“Cakra, aku sebenarnya tidak berniat membuat rumahmu berantakan tapi..”

“Jangan potong ucapanku! Tunggu sampai aku selesai. Kau tahu aku tidak suka rumah yang berantakan, kan? Tapi akhir-akhir ini rumahku berantakan sekali. Aku sampai pusing dibuatnya. Anehnya, aku tidak marah dengan semua ketidakteraturan yang terjadi. Aku malah merasa senang karena sepertinya ada seseorang yang mengimbangi kehidupanku. Seorang gadis pemalas yang tidak bisa memasak tapi selalu ingin makan makanan yang enak-enak. Aku merasa duniaku lengkap. Menikahlah denganku setelah kita wisuda. Tahun depan, orang tuaku akan datang dan akan kukenalkan padamu. Sampai waktunya tiba, tetaplah di sisiku dan nikmati duniaku semaumu.” Tidak, aku tidak akan pernah mau kehilangan seseorang yang dengan berani memporak-porandakan hati dan rumahku dengan cara yang sebegini menyenangkannya. Aku menatapnya dan ia tersenyum kemudian menggegam tanganku dengan satu tangannya. Untuk kesekian kalinya, aku merasa bahwa Belanda adalah rumah yang menyenangkan untuk kami.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s