Saya wanita dan saya (tidak) bangga menjadi wanita. Saya malu dianggap lemah dan karenanya saya selalu diberi kursi di TransJakarta meski ada pria tua yang lebih membutuhkannya. Saya takut mengenakan baju pendek karena akan dikira minta diperkosa. Saya tidak ingin dikira murah hanya karena saya mau diajak pergi beberapa teman lelaki saya. Tidak. Saya tidak pernah bangga menjadi wanita.
Ibu saya pernah bilang kalau menjadi seorang wanita adalah suatu kelebihan. Wanita melahirkan generasi bangsa yang mengubah dunia. Ya, mungkin ibu saya benar. Rasanya saya perlu bangga menjadi seorang wanita yang mampu melahirkan anak lelaki -yang semoga saja- berguna bagi nusa, bangsa, dan keluarganya. Saya hanya butuh anak lelaki.
Ayah saya bilang kalau perempuan harus punya harga diri. Sebab, mati dengan harga diri yang masih tersisa lebih terhormat ketimbang mati sia-sia. Ia juga bilang kalau semisal suatu hari saya diperkosa, susahakan saja melawan sekuat tenaga agar tidak ada penis yang dimasukan ke vagina saya, meski mati adalah taruhannya. Rasanya Ayah lebih suka anaknya mati ketimbang dihamili. Ayah juga sempat bilang kalau selaput dara seorang wanita yang belum bersuami adalah harga mati.
Saya tidak bangga menjadi seorang wanita. Saya tidak bangga dipaksa menjadi seorang pembantu bagi suami saya yang malas; saya harus bangun lebih pagi dan tidur lebih larut demi memenuhi keinginannya. Saya tidak bangga menjadi seorang wanita yang tidak boleh bekerja karena terbelenggu alasan anak dan asi, meski asi bisa disimpan berhari-hari di kulkas. Saya tidak bangga menjadi seorang wanita yang dianggap sebagai seonggok daging pemuas atau mesin reproduksi laki-laki berkualitas tinggi. Akan tetapi, saya bangga menjadi seorang wanita yang berani menjadi dirinya sendiri, tanpa peduli pandangan laki-laki.