Pria Bertas Hitam

Kau tidak akan pernah tahu akan jatuh cinta dengan siapa. Bahkan jika kau punya segala kriteria untuk calon pasangan idamanmu, belum tentu orang yang kau cintai kelak akan memenuhi segala standar yang telah kau tentukan sebelumnya. Cinta tidak pernah mengenal siapa, Teman. Entah itu seseorang yang kau kenal atau bukan.

Banyak orang jatuh cinta pada orang asing. Tanpa sadar mereka telah suka pada pandangan pertama. Bisa dengan seorang pria tampan di balik kaca mobil yang terlihat saat lampu merah menyala, pada seorang wanita manis di kereta yang sedang padat-padatnya, atau pada seorang pria -bisa juga wanita- biasa yang sedang duduk di cafe. Ya, semua orang bisa jatuh cinta dengan orang asing di mana pun, termasuk saya atau Anda.

Aku baru saja menyelesaikan paragraf kedua dari calon tulisanku sebelum Transjakarta tujuan Lebak Bulus tiba di halte tempatku berada. Suasana bus tidak terlalu ramai meski semua bangkunya telah terisi. Aku mengambil tempat berdiri di pintu sebelah kanan dan menyenderkan badan di salah satu dinding plastik. Saat aku hendak menulis kembali paragraf ketiga, ide yang sudah disusun dalam kepala hilang tak bersisa. Tidak ada satu pun kata yang bisa kutulis pun tidak ada satu adegan yang mampu kubayangkan. Beberapa waktu terakhir ini menulis merupakan hal yang cukup susah untuk dilakukan. Padahal menulis adalah ladang untuk mencari uang dan hiburan.

Aku menghabiskan waktu dengan menyumpal telinga dengan earphone dan mengetuk kaca dengan satu jari sesuai irama musik yang kudengar. Semua bangku masih terisi, bukuku ketinggalan di kantor, dan perjalanan masih cukup panjang. Aku menghembuskan napas dan mulai menjelajahi jalan raya.

Mati. Itu adalah hal pertama yang terlintas di benakku saat melihat awan hitam yang menggumpal di langit. Aku tidak bawa payung dan tasku berisi laptop yang di dalamnya terdapat beberapa calon tulisan –yang belum diuangkan-. Aku bisa saja menunggu hujan reda di halte, tapi sampai kapan? Jam tujuh malam nanti tulisan sudah harus dikirim ke editor. Kalau tidak, fee bulan depan terancam dipotong. Aku menghirup udara dalam-dalam dan berusaha untuk tenang. Mungkin saja hujan tiba saat aku sampai di beranda. Semoga saja Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Baik menurunkan hujan di waktu yang tepat untukku.

Ketimbang memikirkan segala kemungkinan terburuk apabila nanti hujan danmnekat menerobos derasnya air, aku memilih mengamati keramaian di antara gerimis yang turun menemani macetnya Jakarta. Ada banyak tukang makanan yang mangkal di trotoar, ada seorang anak kecil yang sedang menangis karena jatuh dari sepeda, ada dua orang pengendara motor yang sedang bertengkar karena motor mereka bersenggolan, dan ada beberapa orang yang sedang berjalan kaki.

Salah satu dari beberapa pejalan kaki itu tidak mengenakan payung atau jas hujan. Kemeja biru muda pria itu mulai sedikit basah. Ia berjalan sembari menyeka air dari wajahnya sesekali. Aku tidak bisa melihat warna matanya pun warna sepatunya. Aku hanya bisa melihat tas punggung hitamnya dan bagaimana ia berjalan dengan tenang seakan air kotor yang memercik di celana cokelat mudanya bukan masalah.

Aku terus mengamatinya hingga sejauh akomodasi mata yang memungkinkan. Dan di salah satu jalan yang sedikit berkelok, aku kehilangan dirinya. Ya, ia sudah berlalu pergi saat TransJakarta yang aku tumpangi tak kunjung bergerak. Hujan semakin deras dan kakiku mulai kesemutan. Aku melihat jam di ponselku kemudian memejamkan mataku, mengingat baik-baik bagaimana pria berjalan bersama tas hitamnya. Aku memejamkan mataku kemudian berharap hujan tidak akan turun semakin deras. Aku memejamkan mataku lagi dan berdoa agar tidak terlambat mengumpulkan tulisan.

***

Sebulan berlalu dan aku tidak melihat pemuda itu tadi meski terus melewati jalan yang sama. Mungkin pertemuan itu hanya kebetulan yang terjadi sekali, tidak lebih. Ya, pasti begitu.

Di hari yang entah ke berapa setelah pertemuan pertamaku dengannya, tiba-tiba saja ia naik ke TransJakarta yang padat. Aku mengetahui keberadaannya karena ia berada tepat di hadapanku. Pada saat itu posisiku menyender di sebelah tiang yang terletak bersebelahan dengan pintu kanan. Ya, ia berada di sana dengan telinga yang tersumpal earphone. Pria itu mengenakan kemeja berwarna bitu tua, celana jeans hitam, dan tentu saja dengan tas punggung hitam yang sedang dijinjingnya.

Awalnya aku tidak yakin bila dirinya adalah pria yang sama. Tentu ada banyak orang yang mengenakan kemeja dan tas berwarna serupa. Lagipula, aku belum pernah melihat wajahnya dari dekat. Tapi entah mengapa aku yakin sekali bila pria dengan tas punggung hitam yang lalu adalah orang yang sama dengan pria di hadapanku saat ini.

Pria itu tak kunjung menoleh meski aku terus memandanginya. Aku mengamati bagaimana ia berdiri, caranya berpegangan pada strap hanger, dan bagaimana ia mengakomodasikan dirinya di tempat yang tidak cukup nyaman. Aku mengamati apapun yang dirinya lakukan dengan saksama.

Bus ini tidak cukup dingin untuknya. Aku bisa melihat keringat mulai membasahi leher dan pundak kemejanya. Tas hitamnya terlihat cukup berat hingga ia beberapa kali membenahi cara memegangnya.

Cukup banyak orang yang turun di halte Grogol. Bus yang kami tumpangi tidak lagi penuh, beberapa tempat duduk telah kosong. Aku mengisi bangku di sebelahku dan ia mengisi bangku kosong yang ada di depannya.

Aku berpura-pura sibuk menekan-nekan ponselku sembari melirik ke kaca di belakangnya, seakan-akan ingin mengatahui posisiku meskipun setiap halte yang kami lewati terdengar dari bunyi penanda dalam bus. Ya, aku tidak peduli apabila aku terkesan bodoh. Aku hanya ingin mengamatinya lebih lama.

Ia seakan tidak peduli dengan apa yang aku lakukan dan menggulung kemejanya. Setelah itu, ia merogoh kantung celana sampingnya sembari mengeluarkan sapu tangan dan mulai mengelapi keringat yang membanjiri pelipisnya. Ia beberapa kali melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya.

            Aku menarik napasku perlahan dan mencoba untuk tenang. Kau tahu bagaimana rasanya menyukai orang asing yang berada satu bus denganmu dan tepat duduk berhadapan? Rasanya seperti takut untuk bergerak. Takut melakukan kesalahan sedikitpun yang membuatnya melirik ke arahmu dan menemukan fakta bahwa ia tidak tertarik padamu sebagaimana kau tertarik padanya.

            Matanya hitam pekat dengan alis tebal sempurna. Kedua sisi pipinya ditumbuhi rambut-rambut tipis yang terlihat rapih dan membingkai rahangnya dengan sempurna. Aku ingin memotretnya dengan ponselku dan menatapinya berkali-kali meski kami tidak lagi berjumpa. Akan tetapi, aku cukup sadar diri dan tidak melanggar privasinya. Aku mencoba menatapnya selama mungkin, membingkai apapun yang ada di wajahnya sebaik yang kubisa.

            Pria itu tidak lagi bergerak. Ia hanya duduk, memejamkan mata, dan terus membiarkan telinganya tesumpal. Ia terlihat memeluk ransel hitamnya dengan cukup kuat. Mungkin saja ia tertidur, mungkin saja ia kelelahan untuk bergerak, dan mungkin juga ia terganggu dengan pandanganku.

            Aku tidak lagi mengamatinya dan memilih menikmati perjalananku. Aku tidak berani terlalu berharap agar pertemuan kita terus berlanjut setelah ini. Kebetulan mungkin saja terjadi lebih dari satu kali, tapi tidak tiap hari, bukan?

            Halte tujuanku sudah dekat. Aku bersiap untuk turun dan menatap pemuda itu sekali lagi. Tepat saat kuarahkan pandanganku pada dirinya, matanya terbuka dan menatapku. Ia tersenyum sekilas dan aku membalasnya. Aku mengartikan itu sebagai perpisahan manis dari orang asing.

***

            Aku tahu bahwa jatuh cinta pada orang asing memang sering terjadi. Ya, mungkin kau tidak mengartikan itu sebagai jatuh cinta, melainkan sebagai rasa suka atau jatuh hati kepada orang asing yang mungkin saja masuk dalam kriteria pria impianmu. Aku pun bukan hanya satu kali ini saja jatuh hati pada orang yang kebetulan kutemui di jalan. Aku pernah jatuh hati pada seorang pelari yang kelelahan dan duduk di trotoar jalan dekat rumah, pada seorang tukang kebun berkulit sawo matang yang mengajak anjing majikannya jalan pagi di akhir minggu, juga pada seorang pria yang membantu orang asing menyeberang jalan. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang kutemui lebih dari sekali pun kuhapal dengan baik bentuk wajahnya.

            Aku rasa aku mulai gila. Aku dibuat kelimpungan oleh orang yang bahkan tidak kuketahui namanya atau alamatnya. Ya, aku sudah benar-benar gila sejak aku mendeklarasikan diriku menyukainya hanya karena tas punggung hitam penuh pin miliknya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s