Hai! Semoga kabar kalian selalu baik, ya, Para Pembaca. Apa kalian merindukan ceritaku? Semoga saja kalian rindu sebab aku punya cerita baru yang ingin kubagi hari ini. Kali ini ceritaku bukan tentang bagaimana seorang aku melayani pelangganku, tetapi tentang seorang pelangganku yang mencuri sebagian diriku bahkan sebelum dia meniduriku.
Aku lupa hari apa ia datang mengetuk pintu rumahku. Yang kuingat, hari itu berada di minggu ketiga Mei, sesuai dengan kalender bulananku. Di malam dengan hujan yang turun dengan deras, Ia datang sendirian. Siku kemeja biru muda, celana cokelat muda yang digulung sampai betis, juga sepatu hitam kulitnya terlihat basah.
Bibirnya pucat dan sesekali giginya gemeletuk. Ia tidak berkata apa-apa untuk beberapa waktu meski aku menungguinya di depan pintu.
“Aku butuh teman. Kata salah seorang kerabatku, kamu pandai menemani.” Ia berkata dengan suara serak sambil menatap mataku.
“Kamu yakin kalau aku adalah orangnya?” tanyaku memastikan, sebab ia terlalu sopan untuk ukuran pria yang hanya ingin “memakaiku”.
Pria itu menatapku lekat kemudian terdiam sejenak. “Ya. Kamu pasti Bunga. Temanku bilang Bunga adalah seorang gadis cantik dengan rambut berwarna hitam dan abu-abu.”
“Baiklah. Tapi aku tidak bisa melayanimu hari ini.” Balasku, masih berdiri di depan pintu dan tidak menyuruhnya masuk.
“Kamu sudah ada tamu, ya?”
“Bukan. Aku sedang mens.”
“Apa kamu bisa menemani aku berbincang sembari menunggu hujan reda di dalam? Anggap saja itu jasa yang aku minta selama kamu berhalangan.”
“Dengan bayaran yang sama? Aku bisa.”
Dia tertawa dengan sepasang lesung pipi di kulit sawo matangnya. “Iya, dengan bayaran yang sama.”
Kami menghabiskan waktu lima jam ditemani dengan lima gelas teh manis hangat dan beberapa bolu kukus cokelat yang aku beli tadi sore. Ia seorang karyawan bank swasta. Usianya 28 tahun. Ia seorang duda tanpa anak yang baru saja diceraikan istrinya karena mengalami impotensi. Sebelum pulang, ia memberikanku beberapa lembar uang seratus ribuan dan kartu nama dengan logo kantornya.
“Mas, saya nggak bisa mengobati impotensi. Saya wanita yang melcurkan dirinya demi uang, bukan dokter. Lebih baik Mas periksa ke dokter.” Aku berkata dengan pelan saat ia pamit.
Sebelum aku merapatkan pintu, aku hanya bisa melihatnya tersenyum kecil sambil melambaikan tangannya ke arahku.
***
Satu bulan kemudian ia datang lagi ke tempatku. Kali ini ia membawakan martabak keju sebagai buah tangan. Aku mempersilahkannya masuk dan membuatkanya segelas teh hangat manis jambu kesukannya.
“Kamu salah hari. Aku baru saja halangan.” Ucapku membuka pembicaraan.
Ia tertawa sebentar kemudian menyeruput pelan cangkir teh yang aku suguhkan. “Aku kan sudah bilang kalau tujuanku mencarimu itu karena aku butuh teman. Soal tidur bareng atau enggak itu urusan belakangan.”
Aku tidak menjawabnya dan memilih mengunyah martabak yang dibawanya.
“Eh, aku udah ke dokter, loh.”
“Terus kata dokternya apa?”
“Karena rokok dan produksi hormon Testosteron aku memang sedikit. Aku lagi minum obat sih, mudah-mudahan aja bisa sembuh.”
“Semoga, ya, Mas. Yang penting kan udah usaha.”
“Kenapa memilih pekerjaan ini, Nga?”
Aku hampir saja menyemburkan martabak yang sedang kukunyah ke arahnya. Aku menarik napas panjang dan bersusah payah menghabiskan sepotong martabak yang sudah kuambil. “Ceritanya panjang, Mas. Tapi hanya ini yang bisa saya kerjakan untuk mencari uang, soalnya saya nggak punya keterampilan. Ketimbang melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain seperti mencuri atau menipu, saya lebih baik menjual diriku sendiri.”
“Kenapa kamu nggak menikah dan membiarkan tanggung jawab mencari uang berada di pasanganmu?”
Aku menatapnya lekat-lekat kemudian tersenyum miris. “Siapa yang mau menikahi pelacur, Mas? Pun kalau ada orang yang mencintai saya, dia pasti takut terkena penyakit kelamin atau pun merasa saya ini terlalu kotor untuk jadi ibu dari anak-anaknya.”
“Saya mau menikahi wanita dengan jenis profesi apapun atas nama cinta. Ya kalau masalah takut HIV, kan bisa cek STD (Sexually Transmitted Disease). Dan urusan jadi ibu, semua wanita layak jadi ibu. Kamu harus membuka diri, Nga. Kapan kamu bisa membuka dirimu untuk segala hal baik yang pantas kamu terima?”
Ia berkata dengan pelan dan aku dibuatnya kelimpungan mendengarkan. “Mau tambah teh lagi, Mas?”
***
Aku sudah menstruasi dua hari di bulan ini dan pria itu tak juga datang. Satu bulan terakhir ini ucapannya tempo lalu selalu terngiang di kepalaku dan membuatnya terasa sakit. Tiga puluh dua hari ini juga aku selalu membayangkan lesung pipi dan kulit sawo matangnya. Aku menolak semua pelanggan selama beberapa seminggu terakhir ini karena takut ia akan datang. Rasa-rasanya, aku telah jatuh hati sejak ia menawarkan aku bayaran tanpa bercinta di malam pertama kami bertemu.
Pria itu tak kunjung datang meski sudah lewat dua bulan. Awalnya aku kira kunjungan sebulan sekali itu akan berbuah menjadi sebuah rutinitas. Untuk pertama kalinya, aku merasa rindu ditemui seorang laki-laki.
Beragam bayangan buruk berkelebat di kepalaku. Mungkin saja ia jatuh sakit atau terjadi kecelakaan. Nomor ponsel yang ia berikan tidak dapat dihubungi. Aku putuskan untuk menemuinya di kantor.
Setibanya di sana, aku merasa dadaku ngilu. Ia tidak ada di kantor. Resepsionis kantornya bilang bahwa ia sedang mengambil cuti untuk menikahi mantan istrinya. Sambil berjalan pulang aku menyadari satu hal, ia tidak mendatangiku lagi karena ia sudah tidak butuh ditemani. Lagipula, ia pernah bilang bahwa dirinya mau menikahi berbagai profesi, dan kata “pelacur” tidak pernah ada dalam daftar profesi manapun.
Cerita Bunga lainnya:
- Pelacur Bukan Wanita Murahan – Krisna Sanarta’s
- Pelacur Bukan Wanita Murahan (2) – Krisna Sanarta’s
- Pelacur Bukan Wanita Murahan (3): Untuk Teman yang Merasa …
Hello kak krisna, aku cuma mau bilang ini blogpost series yang aku suka bangeetttt, walaupun aku masih cetek dalam hal menilai tapi tulisan tapi serius deh ini alurnya keren. Di ending aku kira Bunga akan dinikahi sm si laki-laki martabak keju tapi ternyata pediihh. Ditunggu karya selanjutnya kak 🙂
LikeLike
Halo, Bella. Terima kasih karena sudah berkenan mampir dan membaca dai 1 hingga 4. Jangan ditunggu, harapan terkadang nggak sesuai kenyataan. Tapi, sekali lagi, terima kasih. Tulisan bukan dinilai dari pikiran, tapi dari hati. Tidak ada kata “cetek” untuk hati. 🙂
LikeLike