“Bibi boleh pulang kampung tahun ini, nggak, Mbak?”
“Ada yang sakit, ya, Bi?”
“Bukan. Bibi udah lama nggak pulang aja, Mbak. Kangen.”
“Yasudah. Besok saya carikan tiket dan saya antar. Kita pulang.”
***
Saya tidak tahu apa makna yang menyenangkan di balik pulang. Setahu saya, pulang hanya sekadar kembalinya seseorang ke tempat tinggalnya atau tempat tinggal orangtuanya. Menurut saya, terkadang kepulangan hanya bagian dari sebuah rutinitas, bukan sesuatu yang menggembirakan.
Entah sudah berapa lama saya tidak pulang. Sebentar, saya hitung dulu. Kalau pulang ke tanah kelahiran saya, mungkin sudah delapan belas tahun lamanya saya tak pulang. Akan tetapi, kalau kembali ke rumah orangtua, saya rasa saya sudah tidak pulang selama lima tahun terakhir. Bukannya saya tidak mau pulang untuk bertemu orangtua atau saudara, hanya saja tidak bisa.
Saya seorang wanita lajang yang tinggal di New York, kota yang menuhankan kebebasan. Ayah saya seorang karyawan di sebuah perusahaan minyak yang kerap ditugaskan di berbagai belahan dunia dan ibu saya adalah seorang istri yang setia di samping suaminya. Saya adalah anak tunggal yang lahir di Melbourne dua puluh lima tahun lalu dan besar di berbagai wilayah Australia serta sebagian wilayah Eropa Barat. Akan tetapi, semenjak ayah saya memutuskan untuk pensiun, orangtua saya memilih tinggal di kota kelahiran mereka, Jakarta. Seingat saya, sewaktu kecil, saya tidak pernah dekat dengan sepupu atau memiliki teman baik. Perpindahan wilayah tiap tahun membuat saya tidak begitu akrab dengan dunia sekitar. Saya hanya punya kedua orangtua saya dan itu sudah terasa cukup. Saya bahkan hanya hapal nama nenek saya yang masih hidup dan satu orang paman yang membantu saya mencarikan sekolah di Jakarta.
Kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana saya merayakan hari raya atau menghabiskan liburan tanpa teman sewaktu kecil, bukan? Ya, saya menjalaninya dengan sedikit berbeda. Saya dan kedua orangtua saya akan menghabiskan waktu di rumah, menonton film, memanggang daging, dan melakukan kegiatan lainnya.
Saya tidak mengenal ketupat, THR, opor, atau kue kering khusus sampai saya tiba di Indonesia. Awalnya saya menganggap tradisi lebaran sebagai suatu hal baru yang menyenangkan. Sayang, setelah mencoba mengikutinya kepala saya terasa mau pecah. Saya tidak suka makann berkuah santan yang terus dipanaskan pagi, siang, dan sore. Selain itu, saya tidak suka suara ramai yang memenuhi seisi rumah serta kesulitan toko yang buka. Saya tidak suka lebaran di Jakarta. Saya lebih suka lebaran di negara lainnya bersama kedua orangtua saya. Hanya kami bertiga.
Orangtua saya adalah teman terbaik yang saya punya. Kalau kamu mengira keduanya telah mati, maka kamu salah. Ayah dan ibu saya masih hidup dan masih tinggal di Jakarta. Hanya saja, keduanya meminta saya untuk tidak pernah pulang. Dan selama lima tahun terakhir, saya tak kunjung menemukan kepulangan yang lain.
Ibu saya melarang saya pulang sewaktu tahu saya memiliki dua kekasih. Ayah saya pun ikut murka. Saya tidak tahu keduanya marah karena saya mencium kedua kekasih saya di bibir dan terekam di cctv rumah, atau mereka marah karena menganggap saya tipe orang yang tidak setia, atau juga mereka marah karena kedua kekasih saya memiliki jenis kelamin yang berbeda. Entahlah. Yang jelas, saya akan kembali ke Jakarta esok lusa. Bukan untuk bertemu orangtua saya, melainkan mengantarkan pembantu saya agar tidak tersesat saat transit pesawat.
Saya tidak suka makan[n] berkuah santan yang terus dipanaskan pagi, siang, dan sore.
Kalau kamu mengira keduanya telah mati, [maka] kamu salah.
LikeLike