Dia yang Pergi dan Tak Kembali

Aku ingin berbagi kesedihan dengan kalian, terutama dengan wanita yang terlalu banyak memupuk harapan pada seorang pria. Seorang pria yang awalnya menjanjikan masa depan yang lebih indah dari segala impiannya. Seorang pria yang pada akhirnya memporak-porandakan dia, impiannya, harga dirinya, juga hati miliknya yang hanya satu. Wanita bodoh itu aku.

Sebut saja pria itu dengan Bang Sat. Ia tidak tampan. Akan tetapi, ia punya mata biru dan sederetan gigi rapih yang membuatnya manis saat tersenyum. Ia suka sekali pada kopi dengan tiga sendok makan penuh gula cokelat. Ia juga suka sekali pada cabai yang membuat pipinya kemerahan tiap kepedasan. Bang Sat dan aku bertemu tanpa sengaja di persimpangan jalan Madison Avenue. Waktu itu ia sibuk memainkan ponselnya dan aku sedang sangat terburu-buru. Ia menabrak seorang wanita paruh baya dan menumpahkan kopi sang wanita di sepatu kanvas putihku. Ia meminta maaf dengan sopan kepada kami –aku dan sang wanita-, memberikan nomor teleponnya kepadaku, menawarkan kopi pengganti kepada wanita itu, dan berlalu pergi setelah mendapat penolakan halus dari wanita yang ditumpahkan kopinya.

Sebenarnya aku tidak ingat dengan betul bagaimana cara kami berkenalan setelahnya. Seingatku, aku tak pernah menghubunginya untuk mengganti ongkos cuci sepatu. Aku juga bahkan berpura-pura tidak mengenalnya saat ia tiba-tiba muncul di kantorku. Kalau tidak salah, beberapa waktu setelah kami saling tahu nama masing-masing, kami sempat bercengkrama di sebuah wine lounge dekat kantor. Ia dengan tiga botol Vodka dan aku dengan tujuh gelas dry martini lengkap dengan buah zaitunnya. Pria itu membayar semua tagihanku, katanya sebagai ganti ongkos cuci sepatu.

Kami tidak pernah menjadi teman dekat meski setelah minum bersama. Ia sibuk dengan urusannya, aku juga sibuk dengan urusanku. Tiap kali berpapasan di lift, kami hanya akan melempar senyum sopan dan berlalu pergi. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang salah. Semuanya baik-baik saja.

Tuhan sepertinya punya rencana. Tiba-tiba saja aku ditugaskan kantor untuk bergabung di divisinya. Ia menyambutku dengan tangan yang terbuka, mulutnya tak penah berhenti menjelaskan segala sesuatu yang tidak aku mengerti, tangannya juga tak pernah lelah memeriksa hasil kerjaku sebelum aku laporkan ke atasanku, dan bibirnya tak pernah lupa tersenyum maklum saat aku berbuat kesalahan. Ia membuatku nyaman berada pada sebuah tempat yang baru.

Bang Sat dan aku menjadi dekat setelah kami digabungkan dalam satu divisi. Ia tampaknya tidak peduli dengan statusku sebagai bawahannya. Aku diperlakukannya bagai teman dekat yang diantar dan dijemput tiap hari. Ia tak sekadar menawarkan tumpangan pun juga kenyamanan. Dan aku memutuskan untuk menetap pada hatinya. Aku juga menyimpan segala harapanku di sana. Segalanya.

Setelah beberapa minggu bersama dengan frekuensi hubungan seks yang gila dan tanpa kondom pun pil kb, aku hamil. Ia terlihat senang sekali. Tangannya tak pernah berhenti mengelus-ngelus perutku seakan-akan gumpalan darah di dalamnya sudah bisa merasakannya. Ia menjagaku dengan sangat berlebihan; tidak ada alkohol, tidak ada seks yang terlalu “kencang”, tidak ada asap rokok, dan serentetan peraturan lainnya. Ia bahkan memaksaku untuk pergi ke dokter setiap bulan. Aku hanya bisa mengiyakan sambil menikmati senyum bahagianya.

Pada kunjungan pertama kami ke dokter kandungan, sewaktu mengantre, ia pergi ke seberang jalan untuk membelikan aku dan calon anakknya camilan. Ia pergi lama sekali, bahkan tak kunjung kembali saat aku selesai diperiksa.

Ia tak pernah pulang. Bahkan setelah dua minggu berlalu. Ia tak pernah memberi kabar. Di tempat kerja pun ia tak terlihat. Jangankan menghubungi ponselnya, email pun tidak ada yang dibalas. Sebulan kemudian, saat aku memeriksakan kandunganku lagi ke dokter, aku diminta melakukan tes darah. Dan hasilnya luar biasa. Aku HIV positif. Aku tidak bisa mendengar apapun yang dikatakan dokter. Satu-satunya hal yang aku tahu adalah penyakit ini belum bisa disembuhkan. Dengan kata lain aku hanya mengulur kematianku.

Dokter memberikan aku beberapa obat yang aku lupakan namanya. Sesampainya di rumah, sembari duduk, aku membuka kemasan obat dan meminum seluruhnya. Setelah ini penderitaanku akan berakhir. Aku mengelus perutku lembut. Ini keputusan yang paling tepat. Aku memutuskan untuk pergi dan tak kembali. Tidak akan pernah kembali. Aku merenggut hidup anaknya, sebagaimana Bang Sat merenggut hidupku yang indah. Tubuhku gemetar kemudian semuaya terasa gelap.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s