Gadis itu duduk di beranda rumahnya tanpa melakukan apa-apa. Ia hanya duduk bersandar sambil memainkan ujung rambutnya, diam, matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat, menikmati kesendiriannya.
Tiba-tiba, seekor kucing lewat. Ia terkesikap dan tertawa perlahan. Ia tertawa sambal memilin ujung rambutnya yang ikal. Tawanya tak kunjung berhenti dan tiba-tiba dua pembantunya muncul dari dalam dan memintanya masuk, memisahkan ia dariku.
Ia cantik. Mata dan rambutnya berwarna cokelat tua. Bibirnya tipis merah muda kehitaman. Setiap pagi ia bisa dijumpai di beranda rumahnya, duduk tanpa melakukan apa-apa. Kausnya tak pernah berganti warna, selalu putih. Ia juga selalu membelai rambutnya setiap menit, seakan menemukan tenang dari sana. Aku kira ia adalah manusia yang sudah mencapai cita-citanya. Sebab, dirinya selalu bahagia. Gadis itu selalu tertawa karena hal sederhana, misalnya karena kucing yang berlari tunggang langgang. Ia juga bukan orang pemarah, buktinya ia tidak pernah marah pada pembantunya yang menyuruhnya masuk saat ia sedang asik sendiri.
Aku sudah jatuh cinta padanya sejak lama. Siapa yang bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada gadis cantik dengan tubuh sempurna serta selalu bahagia dan tidak pemarah? Sulit untuk menahan rasa bukan? Ia terlalu menarik untuk diabaikan.
Setiap pagi aku selalu berpura-pura menyiram tanaman ibu agar bisa mendengar suara renyahnya. Aku juga selalu melepas kucingku setiap pagi agar ia bisa melihat dan bahagia lebih lama. Dan setiap kali pembantunya keluar, aku mencoba menatapnya lebih dekat seakan memastikan bahwa mereka berlaku sopan pada gadis pujaanku itu.
Cintaku padanya sudah cukup lama, enambulan. Namun kesempatan untuk bicara dengannya tak kunjung datang. Suatu malam, saat merasa begitu lelah dengan harapan cintaku yang kian pupus, aku memutuskan untuk bercerita pada ibu. Ia diam, mendengarkan dengan saksama.
Lusa pagi, aku dibangunkan ayah pagi-pagi sekali. Aku diantar ke bandara sembari diberikan tiket Hongkong dan segepok uang. Ayah bilang kalau keberadaanku di Hongkong hanya sementara, hanya untuk menunggu visa Belandaku. Aku menolak dengan keras untuk pergi, ada hal yang belum selesai di sini. Aku tak ingin kembali ke Belanda secepat ini. Ibu dan ayah diam dan tak ingin menjelaskan sepanjang perjalanan. Aku hampir mendobrak kaca mobil ketika aku melihat gadisku di beranda rumahnya.
Di sudut bandara, ibu memegang tanganku erat. “Maaf, Cakra, Hanya ini yang bisa ibu lakukan agar kau menemukan bahagiamu dengan cara yang lain. Gadis yang kau ceritakan pada ibu itu namanya Rina. Ia sakit jiwa sejak dua tahun lalu karena diperkosa supirnya hingga hamil. Ia juga tidak suka berada di dekat laki-laki. Berita terakhir yang ibu tahu adalah ia membunuh seorang penjual remote saat laki-laki itu menawarkan dagangannya pada gadis itu, tepat di beranda rumahnya. Ibu tidak ingin kau bertindak lebih jauh dari mencintainya diam-diam.”
Aku nggak suka yang ini. Belum tuntas baca tapi udah nggak mau baca lagi. Maafin aku, Kak.
LikeLike
Nggak apa, Dik. Semua bergantung selera. Terima kasih sudah mampir.
LikeLike
ini kok ceritanya menusuk banget yah dihati ??? tragis luar biasa T.T
bahasanya enak banget walaupun dikit ceritanya tapi ngena pake banget.
TOP BGT …
beribu jempol laah ..
semangat terus buat nulis yaaah^^
salam dari orang yang lagi nyasar di WP kamu kekekekkk
LikeLike
Wah. Terima kasih,ya, sudah berkenan mampir. Hehehe :))
LikeLike