“Pada sebuah perpisahan, aku temukan sejuta alasan untuk mengenangmu; Membawamu kembali dalam ingatan yang semestinya tak perlu.”
Entah mengapa, aku merasa sesak. Bukan karena penyakitku kambuh, melainkan karena tangisan tak bisa dituntaskan dengan suara yang lantang. Aku bukan takut kamu melihat aku menangis, sayang. Aku hanya tak ingin membangunkan anjing tentangga dan membuatnya menggongong tidak karuan.
Mengenangmu adalah pekerjaan yang rutin aku lakukan setiap waktu. Jangan kira aku tak lelah dan terus mau melakukannya, rindu yang memaksaku begitu. Rindu juga yang melukai aku dan mengambinghitamkan kau sebagai tersangka.
Aku ingat bila kamu tidak pernah suka duduk dengan kaki tergantung. Kamu selalu hanya ingin duduk dengan kaki yang menjejak tanah, suapaya tetap ingat pada kenyataan katamu.
Kamu juga tidak pernah suka makanan manis. Kamu selalu suka dengan makanan asin. Katamu, hidup terlalu pahit untuk dimaniskan dan garam akan mengajarkanmu sejuta pengalaman.
Kamu pun tidak suka ditinggalkan seorang diri. Mungkin, karena itulah kamu memutuskan untuk meninggalkan aku. Aku tak keberatan ditinggalkan, asal jangan pernah memaksaku untuk berhenti mencintaimu.
Kamu paling tidak suka terang. Katamu, lampu hanya membuat matamu sakit dan membuang-buang uang. Apakah karena aku bagian dari terang yang membuatmu sakit mata, Di? Hingga kamu memutuskan untuk meninggalkanku.
Aku masih mencintaimu meski kamu memutuskan berhenti memperjuangkan kita. Aku masih mengingatmu saat melupakan sudah hinggap di benakmu. Dan aku masih berjuang meski kamu sudah tidak menginginkannya.
Coba kunjungi aku malam ini. Aku masih masih menunggumu di bangku taman yang membuat kita terengah pada suatu malam panjang, dan masih ketakutan akan dilupakan meski sudah.
❤
LikeLike